Sabtu. Minggu Prapaskah III, Hari Biasa (U)
- Hos. 6:1-6
- Mzm. 51:3-4.18-19.20-21ab
- Luk. 18:9-14
Lectio
9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: 10 “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Meditatio-Exegese
Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah
Melalui perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai, Yesus menggambarkan dengan sehidup-hidupnya sikap batin yang saling bertentangan di hadapan Allah. Dua orang pergi ke Bait Allah untuk menghadap ke hadirat-Nya.
Orang Farisi berdiri dan berdoa. Sikap badan dalam doanya dibenarkan dalam tradisi Kitab Suci. Namun sikap batinnya: membenarkan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Katanya, “… aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk. 18:11-12).
Paus Fransiskus dalam audiensi umum, 1 Juni 2016, mengajar, “Orang Farisi itu tidak berdoa, ia puas dengan ketaatannya melaksanakan hukum. Namun sikap dan kata-katanya jauh dari sabda dan karya Allah. Ia mengasihi semua manusia dan tidak pernah mengabaikan para pendosa.
Sebaliknya, si Farisi itu menghina pendosa, bahkan menganggap tidak ada orang lain di BaitNya. Pendek kata, orang Farisi itu, yang menganggap diri benar, mengabaikan perintah yang paling penting: mengasihi Allah dan sesama.
Sebaliknya, si pemungut cukai hadir di Bait Allah dengan rendah hati dan penyesalan, “berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri” (Luk. 18:13).
Doanya sangat singkat, tidak panjang. “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”, Deus, propitius esto mihi peccatori.
Hanya kata-kata itu. Betapa indahnya! Kita tahu, pemungut cukai dianggap najis, kaki tangan penguasa asing; mereka tidak disukai dan dalam pergaulan sosial disamakan dengan ‘pendosa’. Perumpamaan ini mengajar kita bahwa manusia dibenarkan atau berdosa bukan karena status sosial, tetapi karena caranya menjalin relasi dengan Allah dan bagaimana ia menjalin relasi dengan sesama.
Gerak tubuh dan ungkapan kalimat sederhana yang diucapkan menjadi saksi akan kesadaran diri bahwa dirinya malang. Doanya menjadi sangat penting. Tindakan dan ungkapan katanya menunjukkan kerendahan hati, dan meyakini bahwa ia adalah pendosa yang membutuhkan belas kasih.
Jika si Farisi itu tidak membutuhkan apa-apa dari Allah karena ia telah memiliki semuanya, pemungut cukai ini hanya dapat memohon belas kasih Allah. Dan inilah keindahan yang dapat kita petik: memohon belas kasih Allah.
Hadir di hadapanya dengan tangan kosong, rendah hati dan mengaku sebagai pendosa, pemungut cukai itu memperlihatkan bahwa kita semua sekarang membutuhkan pengampunan dan belas kasih Tuhan. Pada akhirnya, pemungut cukai yang demikian direndahkan kini menjadi teladan atas iman akan belas kasih dan kerahiman-Nya.” (m.vatican.va/content/francescomobile/en/audiences/2016/documents/papa-francesco_20160601_udienza-generale.html).
Seruan untuk bertobat dan menjadi rendah hati digemakan juga oleh Nabi Hosea. Sang nabi, yang berkarya di Kerajaan Israel/Utara pada masa kekuasaan Yerobeam II, 786-746 SM, mengajak orang Israel yang sedang menikmati kemakmuran untuk berbalik kepada Allah.
Nabi mengajak Israel untuk berbalik kepada Tuhan, karena Ia ”menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya” (Hos. 6:1-2).
Allah selalu setia, seperti fajar di pagi hari dan hujan pada akhir musim (Hos. 6:3). Tetapi, seluruh bangsa Israel, Efraim di utara dan Yehuda di selatan, tidak berlaku setia pada perjanjian dengan Allah.
“Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Efraim? Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Yehuda? Kasih setiamu seperti kabut pagi, dan seperti embun yang hilang pagi-pagi benar.” (Hos. 6:4).
Di balik kemakmuran yang dinikmati, Israel ternyata berpaling dari Allah: membakar kurban untuk Baal, tidak setia dan tidak mengenal Allah, mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, berzinah, melakukan kekerasan dan menumpahkan darah, bahkan, meminta nasihat pada dewa kayu (Hos. 2:13; 4:1-2; 12).
Ibadat kurban mereka palsu dan Allah muak. Sabda-Nya, ”Aku menyukai kasih setia, dan bukan kurban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada kurban-kurban bakaran” (Hos. 6:6).
Mereka tidak membutuhkan keselamatan dari Allah. Mereka melupakan sabda-Nya (Yak. 4:6; Ams. 3:34), ”Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”, Deus superbis resistit, humilibus autem dat gratiam.
Kerendahan hati merupakan salah satu tanda pertobatan dan keterbukaan hati untuk menerima rahmat belas kasih dan pengampunan-Nya. Maka, kita perlu berdoa seperti Daud berdoa ketika Nabi Natan datang padanya setelah menghampiri Batsyeba, istri Uria, orang Het itu.
“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar. Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku.
Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku.
Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju! Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu.
Sebab Engkau tidak berkenan kepada kurban sembelihan; sekiranya kupersembahkan kurban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Kurban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” (Mzm. 51:3-5, 7-9, 17-19).
Allah membuka hati-Nya untuk hati yang rendah hati. Dalam kerendahan hati, Perawan Maria memadahkan pujian, Magnificat, ”Allah telah memperhitungkanhamba-Nya yang hina ini […] Rahmat-Nya diberikan dari generasi ke generasi, kepada orang-orang yang takut akan Dia.” (Luk. 1:48, 50).
Katekese
Belas kasih Allah adalah satu-satunya harapan kita. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430:
“Tuhan, diusir keluar dari firdaus oleh-Mu dan dibuang di tanah asing, aku tak akan mampu kembali ke sana jika tanpa-Mu, ya Tuhan. Datanglah untuk menemuiku dalam pengembaraanku.
Aku dapat kembali kepada-Mu hanya jika berharap pada belas kasih-Mu selama aku hidup di dunia ini. Harapanku satu-satunya, sumber kepercayaanku satu-satunya dan janji sejati satu-satunya adalah belas kasih-Mu.” (Commentary on Psalm 24,5)
Oratio-Missio
Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk menyebar-luaskan belas kasih-Nya?
Deus, propitius esto mihi peccatori – Lucam 18:13