Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Renungan Harian Lectio Divina 9.6.2024 – Tak Mengabaikan, tetapi Melakukan Kehendak-Nya

Lectio Divina 9.6.2024 – Tak Mengabaikan, tetapi Melakukan Kehendak-Nya

0
Kompromi dengan setan, by David Lyon.

Minggu. Hari Minggu Biasa X (H)

  • Kej. 3:9-15
  • Mzm. 130:1-2.3-4ab.4c-6.7-8
  • 2 Kor. 4:13-5:1
  • Mrk. 3:20-35

Lectio (Mrk. 3:20-35)

Meditatio-Exegese

Keturunannya akan meremukkan kepalamu

Dampak dosa asal dilukiskan sejernih kristal. Adam dan Hawa telah mengetahui dosa dan akibat yang ditimbulkan pada tubuh mereka. 

Keselarasan batin seperti dideskripsikan dalam Kej 2:25, saat mereka telanjang dan tidak malu, telah rusak. Dan concupiscentia, kecenderungan untuk berbuat dosa, terus mendesak makin kuat.

Dosa telah merusak persahabatan dengan Allah. Karena memunggungi Allah, manusia melarikan diri dari hadirat-Nya, menghindarkan diri agar ketelanjangan mereka tidak dilihat Allah. Sangka mereka: Sang Pencipta tidak melihat mereka.

Relasi antara Adam dan Hawa pun luluh lantak. Adam menyalahkan Hawa, dan Hawa, pada gilirannya, melempar kesalahannya pada ular. Ketiganya saling lempar tanggungjawab atas dosa. Maka, masing-masing harus menanggung penghukuman.

Gereja mengajarkan, “Keselarasan yang mereka miliki berkat keadilan asli, sudah rusak; kekuasaan kemampuan-kemampuan rohani dari jiwa atas badan, sudah dipatahkan; kesatuan antara pria dan wanita mengalami ketegangan; hubungan mereka ditandai dengan keinginan dan nafsu untuk berkuasa.

Juga keselarasan dengan ciptaan rusak: ciptaan kelihatan menjadi asing dan bermusuhan dengan manusia. Karena manusia, seluruh makhluk “telah ditaklukkan kepada kesia-siaan.” (Rm. 8:20).

Akhirnya akan jadilah akibatnya, yang telah diramalkan dengan jelas sebelum dosa ketidaktaatan: “manusia adalah debu, dan akan kembali menjadi debu.” (Kej. 3:19). Maut memasuki sejarah umat manusia.” (Katekismus Gereja Katolik, 400).

Penghukuman pada si ular mencakup perseteruan antara perempuan dan ular, antara manusia dan setan. Allah juga berjanji demi diri-Nya sendiri  bahwa manusia akan mengalahkan si ular, setan.

Sabda-Nya (Kej. 3:15), “Keturunannya akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya”, ipsum conteret caput tuum, et tu conteres calcaneum eius.

Janji-Nya menyingkapkan pewartaan pertama, proto-evangelium, akan Kabar Gembira tentang Mesias-Sang Juruselamat. Ia tidak menghendaki manusia biasa, tetapi tetap berbelas kasih dan menawarkan keselamatan.

Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan: “Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh. 1:3), serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom. 1:19-20).

Lagi pula karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Ia mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej. 3:15).” (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 3).

Mesias, keturunan Hawa, kelak, akan mengalahkan sang penguasa kegelapan. Gereja selalu membaca nubuat ini terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Ibu Maria, Hawa yang baru, mengandung dan melahirkan Sang Juruselamat yang dijanjikan.

Santo Irenaeus, 130-202, menulis, “Karena Hawa digoda kata-kata manis malaikat yang telah jatuh untuk melarikan diri dari Allah, ia memberontak melawan sabda-Nya. Tetapi Ibu Maria, melalui kata-kata malaikat, menerima kabar gembira bahwa ia akan melahirkan Tuhan dengan menaati sabda-Nya.

Yang pertama dibujuk untuk mengabaikan Allah dan, akhirnya jatuh. Yang terakhir dibujuk untuk menaati Allah, sehingga Perawan Maria dapat menjadi pembela Hawa.

Seperti umat manusia mengalami kematian melalui tindakan seorang perempuan, demikian pula umat manusia diselamatkan oleh seorang perawan. Dengan demikian ketidaktaatan seorang perempuan justru diimbangi oleh ketaatan perawan lainnya.” (Against Heresies, 5.19.1).

Ia tidak waras lagi

Santo Markus secara cerdik menyisipkan perselisihan antara para ahli Taurat dengan Yesus di antara kisah keinginan keluarga-Nya untuk mencerabut Yesus dari pelayanan-Nya (Mrk. 3:20-21; 3:31-35). Sisipan menegaskan penentangan tak hanya datang dari keluarga, tetapi juga penguasa agama.

Sabda dan karya Yesus yang luar biasa segera menyebar ke wilayah Kapernaum, hingga orang dari tujuh wilayah pun datang pada-Nya (Mrk. 3:7-8). Kedatangan mereka menyerap seluruh perhatian-Nya.  

Saat pulang dan hendak beristirahat, mungkin di rumah Petrus, orang banyak tetap mengikuti dan mengelilingi-Nya. Mereka harus dilayani karena membutuhkan penyembuhan, penghiburan, peneguhan, hingga makan pun tidak sempat (Mrk. 3:20).

Popularitas Yesus di wilayah Galilea terdengar oleh keluarga-Nya di Nazaret dan membuat mereka cemas. Ketenaran yang melampaui ketenaran raja wilayah pasti mengundang penyelidikan seluruh aparat telik sandi/intelijen atau prajurit infanteri Romawi atau pemungut cukai.

Kehadiran aparat negara membuat seluruh keluarga, kerabat dan tetangga di desa kecil itu tidak nyaman. Risiko yang harus ditanggung sangat besar dan sulit mereka pikul, terlebih kemiskinan akan memperburuk hidup mereka.

Salah satu cara untuk melepaskan diri dari ancaman adalah menentang-Nya. Dan keluarga atau kerabat terdekat-Nya dengan tegas berkata (Mrk. 3:21), “Ia tidak waras lagi.”, In furorem versus est.  

Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis?

Ajaran dan tindakan Yesus pasti menarik minat  ahli Taurat dari pusat agama Yahudi untuk menyelidiki apa yang terjadi dan ajaran baru macam apa yang berkembang di wilayah yang berjarak 150 km dari Yerusalem. Gerak mereka dari Yerusalem ke tempat lain disebut erak “turun” (bdk. Luk. 10:30).

Begitu bertemu dengan Yesus, mereka tidak melakukan wawancara terlebih dahulu untuk mendalami rasionalitas ajaran-Nya. Tetapi, langsung menjatuhkan tuduhan (Mrk. 3:22), “Ia kerasukan Beelzebul,” dan “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan”, Beelzebul habet et: In principe daemonum eicit daemonia.

Digunakan kata Yunani βεελζεβουλ, Beelzeboul; sedangkan dalam Latin Vulgata kata Beelzebub. Dewa ini sama dengan sebutan dewa Baal atau dewa lalat atau dewa tinja (Jawa: lethong).

Raja Ahazia, Raja Samaria, ketika sakit karena jatuh dari kisi-kisi kamar atas, mengutus utusan untuk bertanya kepada Baal-Zebub (tuan rumah, dewa lalat, Baal), dewa yang disembah di Ekron. Ia ingin tahu kapan ia sembuh (1 Raj 1:2).

Namun, Allah bersabda melalui mulut Nabi Elia, “Apakah tidak ada Allah di Israel, sehingga engkau menyuruh meminta petunjuk kepada Baal-Zebub, allah di Ekron? Sebab itu engkau tidak akan bangun lagi dari tempat tidur di mana engkau berbaring, sebab engkau pasti akan mati.” (1Raj. 1:6).

Baal-Zebub telah menggantikan posisi Allah, yang seharusnya disembah. Lama-lama dewa bangsa asing ini dijadikan lambang kejahatan, bahkan menjadi nama diri Penghulu Setan, dengan banyak wajah dan nama.

Ahazia dan pribadi-pribadi lain mengulang apa yang dilakukan Adam dan Hawa. Ia memperhatikan suara Beelzebul dan mengusir Roh Kudus dari hatinya.

Yesus menanggapi tuduhan para ahli Taurat dengan tiga lapis perumpamaan (bdk. Mat. 12:29; Luk. 11:21-22). Ia menggunakan perbandingan untuk menangkis tuduhan kalau Ia mengusir setan dengan kuasa Penghulu Setan.

Santo Cyrilus dari Alexandria, Bapa Gerja abad ke-5, menjelaskan tanggapan Yesus, “Kerajaan dibangun atas dasar kesetiaan setiap warga dan ketaan mereka terhadap kedaulatan raja. Rumah tangga berdiri kokoh jika setiap penghuninya dengan cara apa pun tidak memiliki niat untuk menghancurkannya. Sebaliknya masing-masing saling sepakat dalam setiap kehendak dan perilaku.

Saya kira prinsip pembangunan ini juga berlaku bagi Beelzebul, karena ia memastikan tidak ada satu pun yang menentangnya. Lalu, bagaimana mungkin Setan mengusir Setan? Maka yang sebenarnya terjadi adalah setan tidak pernah meninggalkan manusia karena kehendaknya sendiri, tetapi diusir secara paksa.

Sabda-Nya, “Bagaimana Iblis mengusir Iblis?” Ia tidak akan mempermalukan hambanya sendiri. Ia juga tidak akan membiarkan dirinya sendiri melukai mereka yang memanggul senjatanya.  

Sebaliknya, ia membantu kerajaannya tegak berdiri. “Kamu harus mengerti bahwa aku menghancurkan Setan dengan kuasa illahi.” (Commentary on Luke, Homily 80).

Apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun

Tentang dosa atas penghujatan pada Roh Kudus, Gereja mengajar, “Tetapi apabila seorang menghujah Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, tetapi bersalah karena berbuat dosa kekal.” (Mrk. 3:29; bdk. Mat. 12:32; Luk. 12:10).

Kerahiman Allah tidak mengenal batas; tetapi siapa yang dengan sengaja tidak bersedia menerima kerahiman Allah melalui penyesalan, ia menolak pengampunan dosa-dosanya dan keselamatan yang ditawarkan oleh Roh Kudus.

Ketegaran hati semacam itu dapat menyebabkan sikap yang tidak bersedia bertobat sampai pada saat kematian dan dapat menyebabkan kemusnahan abadi.” (Katekismus Gereja Katolik, 1864)

Maka, sabda-Nya (Mrk. 3:29), “Apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.”, Qui autem blasphemaverit in Spiritum Sanctum, non habet remissionem in aeternum, sed reus est aeterni delicti.

Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus

Setelah menempuh perjalanan jauh, 70 kilometer dari Nazaret, sanak saudara Yesus hanya sampai di luar rumah. Mereka tidak dapat menemui-Nya karena kerumunan orang banyak dan hanya dapat mengirim pesan, “Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” (Mrk. 3:32).

Dua kali Santo Markus menggunakan kata εξω, exo, di luar. Perulangan kata ini bermakna Yesus seolah mengabaikan keluarga alami-Nya; Ia lebih memusatkan Diri bertemu dan mengajar banyak orang yang mengelilingi-Nya (Mrk. 3:33).

Mendengar pesan dari utusan keluarga-Nya, Yesus justru tidak menyambut mereka. Ia justru memandang sekeliling orang-orang di dekat-Nya dan bertanya dengan suara nyaring (Mrk. 3:33), “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?”, Quae est mater mea et fratres mei?

Pertanyaan ini menggelegar, menggema di telinga sanak saudara dan ibu-Nya, dan menambah kejengkelan mereka serta membuat sang ibu sedih. sebagai orang yang kehilangan akal (Mrk. 3:21).

Injil Markus tidak menggambarkan Ibu Maria sebagai pribadi beriman seperti digambarkan dalam Lukas. Seperti murid-Nya yang lain, ia harus mencari tahu dalam lubuk hatinya: Siapa Yesus?

Ibu Maria, yang tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, harus berjuang untuk mampu menjawab dan bersaksi seperti prajurit yang mencucukkan tombak di lambung-Nya (Mrk. 15:39), “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah.”, Vere homo hic Filius Dei erat.

Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku

Saat berkuasa, Herodes Agung (37-4 SM) dan Herodes Antipas, anaknya (4 SM-39 M), benar-benar memporak-porandakan nilai-nilai keluarga. Keluarga menjadi terpecah dan masing-masing anggota justru berkembang menjadi individualistik karena sistem pajak yang diberlakukan, pemaksaan budaya dan ideologi Helenistik, keharusan menyokong dan menampung prajurit Romawi.

Faktor eksternal yang demikian berat sangat menyulitkan tiap keluarga untuk bertahan hidup. Di samping itu, tiap orang Yahudi dewasa, termasuk yang miskin, harus membayar pajak untuk Bait Allah.

Pajak berganda menyebabkan tiap pribadi berisiko makin telantar. Perintah ini menghancurkan sendi hidup keluarga yang ditopang oleh perintan Allah yang keempat, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” (bdk. Kel 20:12; 21:17; Im 20:9; Ul 5:16; Mrk 7:8-13).

Di samping menghormati orang tua, keluarga Yahudi harus memperhatikan Hukum Kemurnian. Mereka harus membangun keluarga dengan sesama orang yang dianggap bersih dan menghindari mereka yang disingkirkan karena hukum Taurat dan adat-istiadat nenek moyang.

Mereka dilarang menikah dengan, misalnya: perempuan asing, orang asing, penderita kusta, orang Samaria, pemungut cukai, orang sakit, orang cacat, orang timpang, dan orang yang kerasukan. Konsekuensinya, yang dianggap keluarga adalah mereka yang berasal dari satu keturunan saja – klen, marga, suku.

Tentu kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya tata pergaulan dengan seluruh manusia lintas batas, tanpa pilih bulu. Dan Yesus, yang sedang mewartakan Kerajaan Allah, sedang membangun keluarga baru. 

Dalam keluarga baru, tiap anggota menjadikan diri-Nya sebagai pusat hidup. Masing-masing hidup sehati dan sejiwa, cor unum et anima una (Kis 4:32), saling jumpa satu sama lain dengan mengatasi sekat-sekat yang diciptakan manusia.                

Barangsiapa melakukan kehendak Allah

Keluarga baru ini beranggotakan siapa pun yang mendengar suara panggilan Sang Gembala (Yoh 10:3-4). Gema panggilan itu membuat masing-masing melakukan kehendak Allah, seperti yang dilakukan Yesus.

Maka, untuk membentuk persaudaraan baru, sanak-saudara Yesus, Ia bersabda (Mrk 3:35), “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”, Qui enim fecerit voluntatem Dei, hic frater meus et soror mea et mater est.

Di balik sabda-Nya yang keras itu, Ia memuji iman ibu-Nya. Ibu-Nya telah melaksanakan sabda-Nya (Luk. 1:38) dan berpuncak pada peristiwa ketika ia menemani Anaknya di bawah salib dan memakamkan-Nya (Yoh. 19:25.40).

Pada saat Injil ini ditulis, keluarga baru ini sangat berperan dalam menopang hidup dan kematian mereka yang dianiaya atas nama Yesus dan ditinggalkan oleh sanak keluarga manusiawi mereka.

Katekese

Dosa melawan Roh Kudus. Santo Paus Yohanes Paulus II, 18 Mei 1920 – 2 April 2005

“Santo Markus menulis, “Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.” (Mrk. 3:29). Kemudian, Santo Lukas juga menulis, “Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Luk. 12:10).

Mengapa menghujat Roh Kudus tidak dapat diampuni? Bagaimana penghujatan ini dipahami? Santo Thomas Aquinas menanggapi pertanyaan ini bahwa penghujatan merupakan suatu pertanyaan hakiki tentang dosa, yakni “tak dapat diampuni karena kodratnya, sebab dosa itu menghilangkan seluruh unsur yang memungkin pengampunan dosa terjadi.”

Menurut suatu tafsir, ‘penghujatan’ tidak melulu mancakup penghujatan terhadapNya melalui kata-kata. Menghujat Roh Kudus terlebih merupakan penolakan atas keselamatan yang ditawarkan Allah pada manusia melalui Roh Kudus, yang berkarya melalui daya kuasa Salib […]

Menghujat Roh Kudus adalah dosa yang dilakukan orang yang mengaku diri memiliki hak untuk terus hidup dengan setan dan dosa; dan dengan demikian ia menolak Penebusan. Jika orang yang mengikatkan diri pada dosa, ia tidak mungkin menemukan jalan untuk bertobat.

Maka, ia tidak mungkin memperoleh anugerah penebusan dosa. Terlebih, ia menganggap bahwa Penebusan tidak hakiki atau tidak penting dalam hidup manusia.” (Ensiklik Dominum et Vivificatem, 46).

Oratio-Missio

Tuhan, bersemayamlah di hatiku dan menjadi Tuan atas hatiku. Semoga aku selalu setia pada jalan yang Engkau tunjukkan pada-Ku. Amin.       

•    Apa yang perlu aku lakukan untuk menolak “kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat” (bdk. Yes 5:20)?” Qui autem blasphemaverit in Spiritum Sanctum, non habet remissionem in aeternum, sed reus est aeterni delicti – Marcum 3:29

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version