Renungan Harian
Rabu, 25 Agustus 2021
Bacaan I: 1Tes. 2: 9-13
Injil: Mat. 23: 27-32
“SAYA berasal dari keluarga katolik yang taat. Orangtua saya tokoh di paroki sehingga saya dan adik perempuan saya harus terlibat di gereja. Maka sejak kecil saya sudah aktif di gereja. Sampai sekarang di usia saya menginjak 40 tAHUN, saya tetap aktif di gereja.
Banyak teman-teman saya yang bukan katolik sering memanggil saya pastor, karena mereka melihat aktivitas saya di gereja.
Karena didikan orangtua, saya tidak hanya aktif di gereja tetapi saya juga aktif di masyarakat. Saya selalu ikut kegiatan di kompleks perumahan, bahkan saya sekarang menjabat ketua RW.
Hampir semua orang di komplek perumahan mengenal saya, bahkan saya dianggap salah satu tokoh masyarakat di kompleks.
Maka tidak heran di rumah sering kedatangan tamu dengan berbagai persoalan.
Saya menikah dengan seorang perempuan yang amat baik, mau mengerti saya dan mencintai saya luar biasa. Saya menikah dengan dia karena perjodohan orangtua kami.
Saya tidak terlalu ambil pusing dengan perjodohan ini dan kami jalani hidup berkeluarga mengalir saja.
Keluarga kami dikenal oleh banyak orang sebagai keluarga yang harmonis, karena memang dalam berbagai kegiatan kami sering datang berdua.
Namun sesungguhnya ada yang selalu bergejolak dalam diri saya. Saat saya sedang sendirian, saya selalu merasa aneh melihat diri saya. Apa yang orang lihat tentang diri saya, sebenarnya itu bukan saya; itu bayangan saya.
Saya yang sesungguhnya bukan itu. Namun dalam tatanan masyarakat yang seperti ini, saya tidak mungkin menunjukkan siapa diri saya.
Aku mulai sadar dengan keanehan diri saya, ketika aku mulai SMP kalau tidak salah. Saat teman-teman ngomongin teman perempuan yang cantik, yang seksi saya sama sekali tidak tertarik.
Saya lebih tertarik dengan laki-laki yang ganteng, laki-laki yang berpenampilan bersih, yang pinter dan berwibawa.
Saat saya mulai kuliah, saya baru mau menyadari sepenuhnya bahwa saya punya orientasi seksual yang tidak umum.
Saya adalah seorang gay. saya tahu bahwa saya adalah seorang gay, tetapi saya menekan itu dan menutup itu rapat-rapat.
Saya tidak ingin mempermalukan orangtua saya dan diri saya sendiri.
Maka kalau saya merasa aneh melihat diri saya yang sekarang karena saya sadar betul semua yang saya lakukan baik di gereja dan masyarakat adalah untuk menutupi semua ini.
Demikian juga dengan perkawinan kami.
Saya sayang dengan istEri saya, dia sungguh-sungguh sosok yang luar biasa. Selama lima tahun perkawinan, kami belum pernah melakukan hubungan suami istri, karena saya tidak bisa.
Tetapi isteri saya tetap menerima saya dan selalu menyarankan agar saya berobat.
Sekarang, dalam diri saya ada sesuatu yang memberontak. Saya merasakan sudah tidak kuat lagi untuk memendam dan menutup rapat semua ini. Saya sudah tidak sanggup lagi untuk berpura-pura.
Saya sungguh-sungguh merasa lelah. Saya lelah jiwa raga. Tetapi saya tidak tahu apakah saya akan membuka semua ini dan menjadi diri sendiri.
Ada banyak orang yang saya sayangi dan menyayangi saya terluka jika saya membuka semua ini. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Saya merasa kasihan dan merasa berdosa dengan semua orang yang “telah saya bohongi” dengan semua penampilan saya; saya merasa berdosa dengan diri sendiri yang selalu kupendam.
Romo, saya harus berbuat apa? Apakah saya harus berpura-pura seperti ini terus? Apakah saya seumur hidup harus menjadi “kuburan” yang berjalan?”
Seorang bapak muda menceritakan persoalannya.
Saya, tertegun mendengar pengakuan bapak ini. Saya mengerti pergulatan hidup yang tidak mudah, penyangkalan diri yang luar biasa. Saya juga amat mengerti kesulitan besar yang dihadapi untuk memilih menjadi diri sendiri atau tetap seperti ini.
Jawaban yang mudah adalah jadilah diri sendiri, tetapi dalam kasus ini tidak sesederhana itu.
Saya juga bertanya dan merenung apakah betul apa yang dilakukan adalah bentuk kemunafikan (kepura-puraan) sehingga dia merasa seperti kuburan yang berjalan?
Kiranya kritik Yesus terhadap orang farisi dan ahli taurat sejauh diwartakan dalam Injil Matius adalah sikap menutup kejahatan dengan tampilan suci.
Dan banyak orang melakukan ini “mencuci” kejahatan dengan tampilan kekudusan. “Celakalah kalian, hai Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kalian orang-orang munafik, sebab kalian seperti kuburan yang dilabur putih.
Sebelah luarnya memang tampak bersih, tetapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku bagian dari mereka yang dikritik Yesus?