Home BERITA Lelaki Tua yang Layak Dipanggil Kakek

Lelaki Tua yang Layak Dipanggil Kakek

0
Ilustrasi: Kakek tua sebatang kara. (ist)

“BENAR Kamu Reva? Ibumu bertahun-tahun memendam rasa bersalah kepadamu. Syukurlah kita bisa bertemu,” Pak Amran mendekati Reva dan berusaha memeluknya, tetapi ia mundur bersembunyi di balik tubuh Dokter Ria.

Hal itu membuat Pak Amran kaget.

”Maaf, perlu kamu ketahui. Saya bukan ayah tirimu. Saya adalah mertua ibumu. Jadi aku kakekmu. Mari duduk kita bercerita.”

Kami akhirnya duduk bertiga. Reva masih melekat di dekat Dokter Ria. Ada teduh yang berusaha direngkuh agar ia teguh.

”Reva, aku memang belum mengenalmu, tetapi lima tahun lalu, aku memutuskan engkau adalah cucuku yang akan mewarisi seluruh kekayaanku,” jelas Pak Amran sambil menatap Reva tanpa berkedip.

”Maksud Kakek?,” tanya Reva penuh keraguan.

“Kisahnya panjang. Kakek orang tua ini punya perkebunan sawit dan karet di daerah Landak, Kalimantan Barat. Juga biro transportasi dengan beberapa armada bus Pontianak-Kuching di Malaysia. Suatu saat kamu harus sampai ke sana dan melihat betapa luasnya kebun sawit kakek.”

“Kamu harus pernah merasakan noreh, menoreh kulit batang karet untuk diambil getahnya. Kita juga bisa pergi dengan bus dari Pontianak sampai Kuching melewati perbatasan yang sekarang semakin tertib pengaturan perlintasannya.”

Pak Amran berhenti sejenak sambil melonggarkan napasnya. Ia menceritakan kekayaannya, namun tidak ada nada sombong sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ia memang kaya beneran, bukan orang kaya baru.

“Kakek seorang lelaki muda pengembara yang memutuskan untuk menetap dan membina keluarga. Kakek menikahi seorang janda beranak satu. Anak janda itu yang kemudian menikah dengan ibumu. Karena kecelakaan, kakek tidak bisa memberi adik kepada ayah tirimu. Hal itu membuat ayah tirimu diuja dan diugung oleh nenekmu, sehingga tidak pernah menyelesaikan kuliahnya dan menjadi orang liar dan brutal, yang hanya bisa berfoya-foya menggerogoti harta kakek ini.”

”Beberapa tahun lalu dalam kondisi stroke, ayah tirimu pulang ke Landak dengan membawa ibumu. Setiap saat mereka bertengkar. Apalagi bila ayahmu tidak dilayani oleh ibumu. Pertengkaran paling hebat terjadi, saat ayah tirimu meneriaki ibumu sebagai pelacur dan mengakui bahwa ia telah memperkosa dirimu. Ia juga mengata-ngatai dirimu.

“Dasar anak pelacur, pasti dia telah kau jual demi uang. Dasar mata duitan, pengabdi uang, dan gila lanangan. Anak tujuh belas tahun sudah tidak perawan. Ibunya sundal anaknya juga.”

”Ibumu sangat marah dan mendorong suaminya sampai terjatuh dan setelah dirawat di rumah sakit selama seminggu dalam kondisi koma akhirnya ia meninggal.”

”Peristiwa itu saya anggap sebagai sebuah kecelakaan, tetapi isteriku tidak terima. Ibumu dianiaya sehingga menjadi gila. Ia selalu bergelung atau meraung dengan meneriakkan namamu. Anaknya yang lain tak ada yang pernah disebutnya, hanya Reva, Reva, dan Reva,” tutur Pak Amran penuh haru atas nasib keluarganya, apalagi empat tahun lalu isterinya menyusul anak lelakinya.

Kakek Amran menjadi sebatang kara tanpa saudara dan keturunan. Sungguh tragis. Ikatan yang bisa dianggap sebagai kerabat hanya kepada Ibu Suriantini.

”Tiga-empat bulan sekali kakek pasti menengok ibumu dan berusaha mencarimu tetapi terasa sia-sia.” terdengar suara lelah hampir menyerah.

”Hari ini nasib baik sedang berpihak kepada kakek. Kakek menemukanmu,” kata Pak Amran mendekati Reva.

Reva pun memeluk lelaki tua yang nelangsa hidupnya itu. Ada kehangatan yang baru pertama kali dirasakan oleh Reva. Damai dan terlindung. Aman dan hangat. Air mata hangat meleleh di kedua pipi Reva. Menghangatkan hati Reva yang beku karena merasa sendirian, terbuang, hina, dan tak dikasihi.

Kesendirian Reva dan kesendirian Pak Amran menciptakan ikatan batin yang teguh dan teduh, penuh kasih.

Dokter Ria terdiam namun menyimak, sambil sesekali menorehkan bolpointnya untuk membuat catatan.

***

Tiba-tiba HP dalam tas Reva berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ia pun minta maaf untuk melihat HP-nya.

”Urusanmu sudah selesai? Bisa sejam lagi kami jemput?,” pesan dari Suster Ignas tertera di layar HP.

Sebelum menjawab, Reva bertanya kepada dokter Ria, ”Apakah saya bisa menyelesaikan urusan di sini satu jam lagi?”

”Bisa.”

”Baiklah.”

”Saya siap satu jam lagi, saya tunggu,” pesan terkirim dan Reva mengembalikan HP ke dalam tasnya dan kembali diletakkannya di pangkuannya.

”Kakek,” panggil Reva kepada Pak Amran.

”Ya, cucuku,” jawab Pak Amran penuh rona kegirangan.

”Baru kali ini aku mendapat panggilan kakek dengan merdunya.”

Pak Amran pun menunjukkan keharuan tanpa basa-basi.

”Izinkan saya pulang, saya akan meninggalkan nomer HP saya kepada Kakek dan Dokter, agar kalau ada apa-apa saya bisa dikabari.”

”Dokter, bisakah minta tolong mendapatkan informasi kondisi ibu saya?,” pinta Reva.

”Baiklah.”

Dokter Ana meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang untuk menanyakan kondisi Ibu Suriantini.

Agak lama Dokter Ria mendengarkan penjelasan yang tidak bisa didengar dan diketahui oleh Reva dan Pak Amran.

Reva menggenggam erat tangan Pak Amran sambil mengelus keriput yang menghiasi tangannya. Ini adalah kedekatan Reva kepada lelaki dewasa selain bapaknya. Kasih Pak Amran sungguh membuat Reva merasa aman dan terlindung.

”Kondisi Bu Suriantini sudah stabil, dia masih shocked sehingga belum sadar. Kaki kanannya retak sudah dioperasi. Saya jamin aman dan tidak akan membahayakan jiwanya.  Semoga kedatangan Pak Amran dapat memenangkannya,” jelas Dokter Ria.

“Perlu diketahui, selain orang rumah sakit, selama ini yang mengunjungi Bu Suriantini hanya Pak Amran. Ibu Suriantini juga mau berkomunikasi dengan baik hanya dengan Pak Amram. Kedatangan adik perempuannya justru mengguncang kestabilan jiwanya dan mengembalikan ke kondisi awal seperti sebelum mendapatkan perawatan,” jelas Dokter Ria ditujukan kepada dua orang yang ada di hadapannya.

“Tinggalkan alamat dan nomer HP Anda. Pak Amran akan menjaga ibumu dengan baik,” tambah Dokter Ria.

Dengan berat hati Reva meninggalkan ruang Dokter Ria. Hari ini sangat istimewa ketika  ditemukannya dua pribadi yang mampu menghadirkan bahagia bagi Reva. Namun ada cemas atas kondisi ibunya yang masih di ruang ICU.

Tetapi ia punya tanggungjawab terhadap tugasnya. Ia hanya punya libur hari ini saja. Ia juga pergi dengan nebeng rombongan suster yang tidak semua tahu kasusnya. Hanya Suster Ignas yang tahu kondisinya.

***

Reva keluar dari ruang dokter Ria menuju lobby untuk menunggu jemputan. Tiba-tiba ia mendengar teriakan, ”Suster! Suster!”

Reva kaget. Dicarinya sumber suara. Tak ditemukan wajah seseorang, hanya sebuah dus televisi besar menutupi sesosok orang yang berjalan bergegas mendatangi Reva.

”Saya mencari-cari Suster dari tadi, sampai hampir frustrasi. Suster hilang seperti ditelan bumi. Untung pada saat puncak frustrasi saya, Suster tiba. Saya jadi titip ini ya Sus. Entah mau diapakan saya serahkan kepada Suster,” pinta Kenanga dengan wajah penuh welas asih.

Pengampunan harus diberikan kepada orang yang telah bertobat, namun jangan juga mengorek luka lama yang sudah sembuh. Beban rasa bersalah Kenanga sekarang sudah dimasukkan ke dalam dus besar itu.

Reva menerimanya, ternyata ringan sekali, tidak seperti wujud dus yang besar bergambar televisi ukuran 36 inci. Begitu Reva menerima dus yang begitu ringan, datang sopir susteran menghampiri Reva.

”Biar saya bawakan Suster, kasihan membawa barang sebesar itu. Untung bagasi mobil kosong, kalau tidak kita tidak bisa mengangkutnya.”

Reva mengulurkan dus besar itu kepada Pak Subari dan ia kaget karena ternyata ringan sekali seakan dus kosong.

Reva menjabat tangan Kenanga.

”Jadilah Kenanga, bunga yang wangi dengan mengubur masa lalu kelam dengan menatap masa depan yang cerah bersama Allah. Tuhan membekati.”

Reva melepaskan tangannya sambil mengelus sepintas. ”Jadilah orang baik. Selamat tinggal. Lain kesempatan kita pasti bertemu”.

Ada bening air mata menderas dari mata Kenanga. Semoga air mata itu mampu menghapus kisah salah di masa lalunya. Penyesalan memang datang kemudian, tetapi berjanji untuk tidak mengulang kesalahan adalah sikap positif yang harus diapresiasi dan didukung.

”Titip bu Suriantini ya,” pesan Reva sebelum masuk mobil.

“Maksud Suster? Bu Suriantini pasien sini?,” tanya Kenanga sambil sedikit berteriak.

Reva hanya bisa mengangguk, tersenyum, dan melambaikan tangannya. Dan mobil pun meluncur meninggalkan Surabaya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version