Tahun A-2. Minggu Biasa XVII
Selasa, 28 Juli 2020.
Bacaan: Yer 14:17-22; Mzm 79:8.9.11.13; Mat 13:36-43.
Renungan:
RATAPAN Yeremia ini mewakili hati umat yang melihat dan mengalami kengerian dan kehancuran. Mereka merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka karena dosa-dosa yang mereka perbuat. Dalam keterpurukan itu, mereka sadar bahwa tidak ada satupun yang dapat diandalkan kecuali Allah sendiri. Mereka berseru “Ingatlah akan perjanjianMu dengan kami, janganlah kiranya membatalkannya.”, walaupun mereka sendiri telah merusak perjanjian itu dengan Allah. Tentunya ratapan ini akan dijawab oleh Allah yang akan kita temukan dalam bab-bab berikutnya.
Dari pengalaman bangsa Israel ini kita belajar bahwa kesadaran akan kesalahan biasanya datang terlambat. Ketika kita bersalah atau berdosa, kita menghibur diri kita “tidak apa-apa” dan tidak ada rasa penyesalah/kesedihan, karena pada waktu itu kita belum merasakan dan mengalami konsekwensi dosa. Namun begitu konsekwensi dosa itu kena kepada kita, kita tidak sanggup untuk menanggungnya, karena apa yang kita alami itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebelumnya. Jauh lebih berat.
Hidup benar dalam panggilan imamat, religius dan perkawinan itu membutuhkan kesetiaan dan ketekunan yang menggembirakan. Pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan pada profesionalitas kita sebagai imam, janji prasetya kita dalam hidup religius dan perkawinan itu pada awalnya memang tidak terasa dampaknya, tetapi pada suatu saat itu ada konsekwensi yang mestinya kita terima. Dan konsekwensinya tidak mudah bahkan sampai kehacuran total hidup panggilan kita dan tidak mudah untuk pemulihan seperti dahulu kala. Kepada kita dapat berseru kita kita berada dalam situasi tersebut kalau tidak ke tarekat atau ke keluarga kita? Orang mengatakan bahwa lebih baik terlambat bertobat daripada tidak. Namun prinsip itu perlu kita ubah: kita lebih baik fokus membangun kesetiaan. Beberapa pasangan hidup dalam situasi ratapan seperti ini karena penyelasan atas perbuatannya dan keinginan untuk kembali masih mendapatkan penolakan.
Menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah kita akan menerima penyelasan ini? Kok pas susah sekarang datangnya kepada kita? Kita akan dapat menemukan dalam kisah Yeremia dibagian berikutnya.
Kontemplasi:
Gambarkanlahlah bagaimana iman akan Allah sebagai satu-satunya pengharapan itu tercermin dalam rapatan umat yang diungkapkan oleh Yeremia.
Refleksi:
Apakah dengan tekun dan setia aku menjaga perjanjian hidupku dengan Allah dan dengan pasangan? Apakah aku segera memperbaiki diri sebelum semuanya berubah menjadi buruk? Apakah doa Yeremia itu juga pernah kualami dalam hidupku?
Doa:
Ya Bapa, di saat situasi sulit hidup kami apakah kami masih mengandalkan Allah?
Perutusan:
Berserulah dan berharaplah kepada Allah yang adalah setia dan tidak pernah menarik kembali janjiNya.
(Morist MSF)
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)