Home BERITA Liang Lahat

Liang Lahat

0
ilustrasi: Sembayang di pusara Romo Mangun yang di tahun 2020 sudah 21 tahun meninggalkan kita.

SEKALI lagi bau harum menyeruak dari salah satu sisi tempat peristirahatan di Desa Puh Sarang. Bau itu mampu melegakan jiwa, mengusir duka nestapa orang yang baru saja ditinggalkan.

Tak jarang beberapa orang mengeluarkan jemurannya, berharap agar bau itu menempel di setiap helai pakaiannya. Bunga-bunga pun turut bermekaran dan mendongak seketika ketika aroma wangi itu lewat di samping kelopak-kelopaknya yang mulai layu.

Namun siapa sangka, bau sewangi itu hadir dari dasar liang lahat yang baru saja digali oleh Soleh. Setiap bau wangi itu menyembul ke seluruh penjuru desa, orang-orang pasti tahu bahwa Soleh telah menyelesaikan tugasnya untuk menggali liang lahat yang sempurna.

***

“Bau apa ini? Kenapa sangat wangi sekali?,” tanya seorang lelaki paruh baya berkebangsaan Belanda yang melakukan pemeriksaan di tempat itu.

“Bau liang lahat Romo,” ucap Slamet. Salah satu penduduk Desa Puh Sarang yang bersetia melakukan tugasnya di gereja baru di tempat itu.

Gereja itu didirikan oleh Romo Walters yang saat ini sedang berdiri di sampingnya.

“Ada apa dengan liang lahat itu? Mengapa bisa sewangi ini?,” Romo Walters semakin penasaran.

“Liang lahat itu dibuat oleh Soleh, pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan Romo. Sejak dulu dia memiliki keahlian untuk menggali liang lahat,” ucap Slamet menjelaskan.

“Kalau begitu, antarakan aku ke sana sekarang juga. Ada hal yang ingin kubicarakan dengannya,” sahut Romo Walters.

Mereka berdua pun berjalan menyusuri jalan setapak di Eesa Puh Sarang. Meskipun demikian, Romo Walters tak terlalu kesulitan.

Slamet yang merupakan penduduk asli Puh Sarang membantunya untuk menemukan jalan tercepat menuju rumah Soleh.

Di perjalanan, tak henti-hentinya Romo Walters teragum-kagum perihal kemampuan Soleh.

Slamet pun menceritakan sejujurnya. Soleh adalah seorang Muslim yang taat beragama. Baginya bekerja adalah beribadah. Meskipun sehari-hari Soleh bekerja sebagai penggali liang lahat, tapi rasa susah atau gundah tak sekali pun terbersit dari wajahnya.

Tak terasa perjalanan yang berlangsung sepanjang senja itu mampu membuat mereka sampai di depan pintu Soleh.

Saat mereka sampai, Soleh masih mandi. Isterinya yang membukakan pintu bagi tamu suaminya itu.

Romo Walters begitu tertegun, ia melihat keluarga kecil nan sederhana teramat bahagia di rumah itu. Sungguh mereka adalah keluarga sederhana yang tahu bagaimana cara untuk menysurukuri setiap hembus nafas kehidupan.

“Asallamualaikum,” suara itu terdengar serak muncul dari balik tirai yang menjadi sekat antara ruang keluarga dan ruang tamu.

“Wa’alaikum salam,” Romo ujar Walters sembari berdiri menunggu sang empunya suara menampakkan diri.

Setelah tirai dibuka, muncullah seorang lelaki berkulit legam. Bertubuh kurus, serta berjangkun besar, datang melangkahkan kaki ke arah Romo Walters dan Slamet.

Itulah Soleh, pria legendaris yang memiliki kemampuan untuk menggali kubur. Romo Walters dan Soleh sejenak saling bertatapan.

Mereka merasa ada kedamaian yang tersimpan di balik ceruk bola mata masing-masing yang ditatapnya.

“Jadi begini Mas Soleh, Romo Walters ingin bertemu dengan Mas dan menyampaikan sesuatu pada Mas.”

Soleh tersenyum ramah sembari mengangguk mengiyakan. Tanpa berbasa-basi, Romo Walters segera mengatakan tujuannya datang ke rumah Soleh.

“Di situasi perang yang serba sulit ini, kita tidak tahu seberapa panjang usia kita Mas. Oleh sebab itu, pekerjaan Anda memang sangat dibutuhkan banyak orang. Hampir semua orang membutuhkan liang lahat, termasuk saya.

Itulah sebabnya, saya ingin Mas Soleh membuat liang lhat untuk saya. Lagi pula, manalah mungkin saya ini menggali liang lahat saya sendiri?,” pertanyaan Romo Walters tersebut sontak membuat seluruh isi rumah itu tertawa.

Tanpa menyimpan senukil pun keraguan, Soleh kembali mengangguk dan tersenyum mengiyakan tawaran Romo Walters.

Biarawan asal Negeri Belanda yang fasih berbahasa Jawa itu girangnya bukan main setelah mengetahui kesanggupan Soleh untuk mau membuatkan liang lahat untuknya.

***

Hari penggalian dimulai sudah. Sesampainya di tempat itu, Soleh meyampaikan dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh Romo Walters.

“Jika memang itu demi kebaikan bersama, katakan saja Mas Soleh,” sahut Romo Wolters dengan halus.

Pertama, izinkan saya mengetahui nama lengkap Romo dan izinkan saya memasukkan nama itu dalam doa saya. Berikutnya, saat saya mengerjakan tolong jangan diajak bicara karena saya akan diam dan terus menerus menggali hingga usai.

Bukan berarti saya sombong, tapi itu pertanda saya sedang berdoa. Doa seturut iman saya tentunya. Pripun Romo? Apakah Romo bersedia menyanggupi itu semua?,” tanya Soleh.

“Mas Soleh, saya justru berterima kasih pada Njenengan karena mau mendoakan saya. Bagaimanapun cara berdoa kita, tujuan kita tetap sama yaitu mohon kebaikan dan kedamaian pada Tuhan yang kita imani.

Bukan begitu Mas? Saya sanggup Mas,” RomoWalters berucap dengan tegas dan mantap.

Soleh mulai memejamkan matanya. Ia duduk bersila, seketika itu pula wajahnya seolah bersinar. Pertanda bahwa ia memang benar-benar tulus dalam bekerja dan baginya bekerja adalah ibadah.

Oleh sebab itu sungguh layak dan sepantasnya apabila dalam mengerjakan tugasnya, Soleh merapalkan doa dari dasar lubuk hatinya.

Mata Soleh masih terkatup rapat tapi bibirnya berbisik dengan cepat, setelah itu dia bertanya..

“Mo, tolong sebutkan nama asli Romo,” tanyanya.

“Nama saya Jan Walters!” ucap Walters dengan teramat mantap.

Soleh membuka mata, ia mengambil cangkul dan mulai menggali. Sementari itu, mulutnya masih saja terus berbisik dengan syahdu dan tak ada satu pun yang mampu menangkap bisikannya.

Melihat kejadian itu, Walters hanya mampu berdiri mematung menatap kawannya itu. Ia tak menyangka bahwa setiap tanah dikeduk disertai doa teramat tulus. Perlahan tapi pasti bau wangi mulai menyeruak dari tanah yang dikeduk oleh Soleh.

Romo Walters dengan setia menunggu kawannya itu menyelesaikan tugasnya.

Tak terasa, langit mulai meredup. Di bawah langit yang teramat redup itu, seorang Romo sedang berdiri menyaksikan kawan yang kini dianggap sebagai sahabat itu menyelesaikan tugasnya.

Kedukan pun semakin dalam dan tinggal beberapa cangkulan lagi usai. Di akhir kedukan itu, Soleh kembali duduk bersila dan berdoa dengan teramat khusyuk.

Setelah mengucap kata “Amin” dengan teramat keras sembari menghentak tanah, Soleh pun berusaha keluar dari liang lahat yang usai digalinya.

Sesampainya di atas liang lahat. Romo Walters menyambutnya dengan jabat tangan dan memberikan selamat. Soleh pun menyambutnya dengan ramah.

“Soleh, sebelum kau pulang bisakah kau ceritakan padaku perihal keahlianmu dalam menggali liang lahat itu?”

Lelaki berkopiah legam itu terdiam sejenak mendengar pertanyaan sahabatnya. Wajahnya mulai menatap burung-burung yang berlarian menuju kaki langit.

Sejenak kemudian, ia mulai bercerita.

“Dulu, sekitar empat puluh tahun yang lalu saat usia saya belum genap sepuluh, bapak saya meninggal. Ia ditemukan telah tewas dengan tubuh yang tak lagi utuh. Tak ada yang mau menguburkannya. Saat itu bukan main baunya, tapi saya tetap harus tegar.

Kugali sendiri liang lahat Bapakku degan doa doa yang kucapkan di setiap jengkal demi jengkal tanah yang kucabut dari tempatnya. Tak lupa aku juga menyelipkan nama lengkapnya dalam doa itu.

Tubuh Bapak yang teramat bau tadi menjadi tersamarkan baunya setelah bau wangi yang muncul dari liang lahat yang telah kugali. Semenjak itu, aku bertekad untuk mengabdikan diriku sebagai penggali liang lahat dan memperlakukan setiap orang yang dikuburkan sama seperti waktu aku menguburkan bapakku sendiri,” air bening menetes dari kedua kelopak mata Soleh.

Melihat sahabatnya bersedih, RomoWalters memeluknya dan berjanji untuk mendoakan arwah bapak Soleh dalam ibadat yang dipimpinnya selama tujuh hari berturut-turut.

Soleh berucap terimakasih pada ketulusan doa sahabatnya itu. Ia percaya setiap doa jika disampaikan dengan hati yang tulus bagaimana pun caranya pasti tetaplah berbuah kebaikan.

***

Semenjak peristiwa itu, Walters dan Soleh menjadi sahabat baik. Mereka berdua menginspirasi warga setempat untuk lebih bertoleransi satu sama lain. Hingga tibalah saat paling sendu dalam sebuah Desember yang basah.

Semua orang berkumpul di pelataran Gereja Puh Sarang. Beberapa dari mereka membawa sapu tangan dan berurai air mata. Mereka tidak sedang berdoa. Seorang pria kurus berdiri di tengah-tengah mereka sembari membaca sebuah maklumat.

“Saudara-saudara maaf saya yang membunyikan lonceng gereja berkali-kali agar saudara-saudara sekalian bersedia berkumpul di sini. Di tangan saya ini ada surat dari Keuskupan Surabaya yang menyebutkan berita duka.

Seorang pastur yang telah lama bertugas di tempat ini telah dipanggil Tuhan satu pekan yang lalu di Utrech, Belanda. Ternyata ia menyimpan penyakit yang teramat kronis dan saat cuti, ia harus menyesuaikan perubahan suhu sehingga membuat kondisinya menurun. Langsung saja saya bacakan isi surat ini…”

Setelah itu Slamet membaca surat dari konsorsium Belanda yang telah diterjemahkan oleh Keuskupan Surabaya. Isak tangis dan bunyi sesenggukkan mengiringi pembacaan surat Slamet.

Tak jarang Slamet sendiri terhenti dan tersendat-sendat membacanya karena tak tahan menahan sedih di dada,

Soleh yang juga ada di situ bagai dikoyak petir hatinya. Ia tak menyangka sahabatnya yang sebelum cuti sempat mendatangi rumahnya dan memberikan satu kresek roti manis itu telah berpulang.

Hujan pun mengguyur lebat seolah ikut berpartisipasi dalam duka. Soleh berlari menuju liang ahat sahabatnya yang masih kosong melompong. Ia tersedu-sedu menangis di sampingnya.

Dari kejauhan di tengah hujan teramat lebat, terlihat arak-arakkan kereta kuda dengan pengiring yang tak begitu jelas jumlahnya. Kereta itu mengarah ke tepi jalan Puh Sarang dan berhenti tepat di samping Soleh yang masih menangis.

Tangis Soleh sejenak terhenti menyaksikan kereta itu, ia melihat ada sesosok pria berjubah putih bersinar turun dari kereta kuda. Para pengiringnya yang juga berpakaian putih membukakan jalan untuknya.

Pria itu menghampiri Soleh dan sejenak, menatapnya di samping liang lahat itu. Lalu ia turun menuruni liang lahat yang tiba-tiba bersinar berkialauan.

Dari dasar liang lahat tiba-tiba muncul sebuah pintu dan anak tangga yang teramat terang benderang.

“Asalamualaikum Soleh, terima kasih karyamu sungguh luar biasa. Meskipun ragaku tak di sini, tapi jiwaku telah menyatu di liang lahat ini. Damai Tuhan Bersamamu,” ucap lelaki itu sembari turun ke liang lahat yang bersinar berkilauan.

“Wa’alaikum salam sahabatku, damai Tuhan Bersamamu juga,” ucap Soleh menimpali dan melambaikan tangan, sembari menatap pria berjubah putih yang terus berjalan turun ke dasar liang lahat.

Lewat rintik hujan yang teramat lebat dan suara kepak sayap burung di angkasa, Soleh tahu bahwa sahabatnya telah beristirahat dengan damai.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version