KETAPANG di
Kalimantan Barat di akhir tahun 1949 masih hutan belantara. Di pusat kota,
segala jenis fasilitas publik masih amat minim. Rumah-rumah penduduk berdiri di
tengah kepungan areal rawa-rawa penuh nyamuk dan berbagai binatang dan
serangga.
Air bersih sungguh masih sangat langka di Ketapang pada akhir tahun 1949.
Dan tantangan melakoni hidup keseharian sebagai suster misionaris OSA itu rupanya terjadi di dua “front” berbeda. Tantangan itu berlaku baik medan karya maupun di rumah sewaan yang telah mereka “sulap” dalam sekejap sebagai “biara”.
Di bawah naungan kelambu
Sehari-hari mereka tinggal di sebuah ruangan bersama dengan ukuran sangat kecil untuk kapasitas lima orang suster bule asal Belanda. Mereka bertemu dan tidur juga di tempat yang sama, sementara dapur dan kamar mandi ada di ruangan berbeda.
Tersedianya ruangan yang sempit menjadi hari-hari penuh tantangan yang harus dihadapi oleh kelima suster muda OSA. Mereka yang baru saja meninggalkan “zona nyaman” Biara Pusat Mariënheuvel di Heemstede, Nederland, kini harus rela tinggal berdesakan di sebuah kamar sempit di Ketapang.
Kamar-kamar sempit itu merupakan bagian dari rumah sederhana yang mereka sewa dari penduduk setempat untuk kemudian dalam waktu sesingkat-singkatnya “disulap” menjadi Biara OSA.
Rumah sederhana itu terletak di Jl. Radio, nama sebuah ruas jalan di Ketapang di tahun 1949. Kini, ruas jalan itu bernama Jl. Urip Sumoharjo.
“Kami berlima tinggal dalam satu kamar yang sama. Kalau malam, tidur ya bersama-sama dalam satu kamar di bawah naungan ‘selimut besar’ berupa kelambu,” ungkap Sr. Euphrasia Laan OSA dalam kesempatan wawancara di Negeri Belanda.
“Terus-terang, pada awal-awal bulan melakoni hidup di Ketapang, kami mengalami tantangan itu sebagai kesulitan besar dalam perjalanan hidup kami sebagai perintis misi OSA di Ketapang,” katanya berterus-terang.
“Kami berlima ini orang-orang Belanda yang belum pernah dan juga tidak terbiasa hidup di kawasan tropis. Di luaran, panas terik matahari luar biasa saat di siang hari. Sementara pada malam hari, kami juga harus berjuang bertahan diri dari serangan gigitan nyamuk, sembari tetap harus berada dalam ‘lindungan’ kelambu,” papar Sr. Euphrasia Laan OSA sembari menundukkan kepala.
“Tidak hanya itu, kami juga kesulitan beradaptasi dengan makanan dan tidak tersedia air bersih di biara,” paparnya.
Bantuan Passionis (CP)
Untunglah, kata Sr. Euphrasia Laan OSA, jalinan ikatan persaudaraan dan kerjasama yang baik antara Passionis dan OSA sudah mulai terjalin sejak kelima suster muda misionaris OSA itu datang pertama kali menginjakkan kakinya di Ketapang.
“Tiap sore hari,” demikian penjelasan Sr. Euphrasia OSA, “seorang bruder Passionis selalu dengan senang hati suka membantu kami dengan menyetir jipnya menuju arah arah sungai. Manakala terjadi air pasang, maka bruder itu membawakan drum-drum berisi air sungai untuk keperluan hidup keseharian biara OSA,” paparnya.
Air sungai itu, kata Sr. Euphrasia, sangat mereka butuhkan guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari akan “air bersih”.
Stres mencuci dan menyeterika
Tantangan riil lainnya dan yang harus mereka hadapi sehari-hari itu terjadi tanpa putus di Biara OSA. Sederhana saja, kata Sr. Euprhasia Laan OSA, namun hal itu selalu membuat dua suster “penghuni tetap” biara sering mengalami stres berat.
“Tiga suster OSA kami selalu datang ke RS Daerah dengan busana biarawati serba bersih dan putih-putih. Pulang kerja, busana jubah mereka selalu sudah dalam keadaan kotor penuh bercak oleh darah atau kotoran lainnya,” papar Sr. Euphraria Laan OSA.
“Nah, mencuci dan membersihkan jubah-jubah suster yang sedemikian kotornya itu menjadi tugas saya dan Suster Prudentia OSA,” ungkapnya menengadah.
Kesulitan pertama yang mereka hadapi adalah minimnya ketersedian air bersih. Sementara, hasil kerja keras mereka mencuci itu harus bisa menghasilkan jubah-jubah berkilau putih bersih.
Kesulitan pertama sudah banyak dibantu menemukan “solusinya” berkat kebaikan Br. Caspar CP yang setiap sore datang membawa drum-drum berisi air sungai dari “kabin” jipnya.
“Kesulitan kedua adalah harus menyeterika jubah mereka. Harap tahu saja, di tahun 1949-an, seterika zaman itu masih memakai arang,” kenang Sr. Euphrasia Laan OSA.
“Kami berdua,” paparnya lagi, “harus menghabiskan banyak waktu hanya untuk urusan cuci-mencuci dan menyeterika baju. Padahal, semestinya alokasi waktu itu bisa untuk hal-hal lainnya.”
Kalau pun masa-masa sulit di tahun 1949 itu akhirnya berhasil mereka lalui dengan hari gembira, maka hal itu terjadi karena satu-dua hal sebagai berikut.
“Yang pertama, kami berdua masih muda-muda dengan tenaga besar,” paparnya bangga.
“Yang kedua, sebagai tenaga muda OSA yang disiapkan menjadi perintis misi OSA di Ketapang, kami harus punya semangat jiwa. Jadi, ada energi spiritual yang telah menjadikan kami kuat dan mampu bertahan di tengah segala macam tantangan hidup,” papar Sr. Euphrasia Laan OSA. (Berlanjut)