SESAMPAI di depan pintu Pastoran Ketapang, Pastor Misionaris Belanda bernama Rafael dari Congregatio Passionis (CP) sudah “menghadang” mereka dengan berdiri di depan pintu guna menyambut kedatangan para suster muda OSA yang masih kinyis-kinyis (super imut) ini.
Kepada kelima “noni-noni” Belanda kiriman dari Biara Pusat Kongregasi OSA di Mariënheuvel di Heemstede itu, Pastor Rafael CP langsung berujar dengan sambutan sangat-sangat “menohok” ulu hati.
“Sekarang kalian sudah tiba di Ketapang dan kami –para pastor CP—sudah berhasil mendatangkan kalian dari Heemstede ke Ketapang. Maka, untuk selamanya, maka kami tidak akan pernah mau melepaskan kalian bisa pergi keluar meninggalkan Kalimantan Barat,” kata pastor Passionis itu tanpa disertai “muka galak”.
Namun Pastor Rafael CP, demikian nama sang pastor Passionis itu– malah mengatakan “peringatan dini” itu dengan penuh senyum .
Ini, kata dia, hanya sekadar untuk mengingatkan bahwa perjalanan kelima suster OSA muda-muda itu dari Nederland ke Batavia hingga Pontianak dan akhirnya ke Ketapang itu pasti tidak akan pernah sia-sia.
Sambutan yang begitu menohok itu juga tidak menjadikan lima suster OSA yang masih kinyis-kinyis (super imut) itu lalu tersinggung dan kemudian ngambeg. Tidak sama sekali.
Justru sejak itu, mulai terjalinlah relasi kerjasama yang amat baik antara para pastor misionaris CP dengan lima suster OSA misionaris.
Mereka semuanya itu akhirnya bisa berkarya di Tanah Kayong berkat adanya rekomendasi Vikaris Apostolik Borneo-Belanda Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap yang datang mengunjungi Biara Pusat OSA Mariënheuvel di Heemstede, Nederland, di akhir tahun 1948.
Penduduk 15 ribu untuk tanah seluas lebih dari Jateng
Secara geografis dan peta demografis, wilayah reksa pastoral Ketapang di tahun 1949 itu punya luas wilayah kurang lebih sama dengan Negeri Belanda. Jumlah populasinya hanya 15 ribu orang terdiri dari berbagai etnisitas, terutama Dayak, Tionghoa, dan Melayu.
Orang-orang Dayak sebagai penduduk asli “pribumi” Tanah Kayong lebih suka menyingkir ke pedalaman atau kawasan Hulu.
Kawasan permukiman mereka lebih banyak berada di pedalaman yang mana –karena “dikepung” oleh kawasan hutan maha luas dan lebat— hanya bisa dijangkau dengan perahu motor atau klothok melalui perairan sungai.
Sungai Pawan menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Dayak dan menjadi akses penting transportasi melalui aliran sungai.
Pada tahun-tahun itu, mereka umumnya bermata pencaharian sebagai peramu atau peladang dengan memanfaatkan hasil-hasil hutan berupa karet, aneka buah-buahan dan sayuran, serta daging dari hasil berburu hewan liar di hutan.
RS Daerah Ketapang
Hanya selang tiga hari kemudian setelah mereka tiba di Ketapang tanggal 6 Desember 1949, tiga suster muda OSA itu langsung menunaikan tugas barunya sebagai perawat di Rumah Sakit Daerah Ketapang milik Pemerintah RI. Mereka adalah Sr. Maria Paolo OSA, Sr. Desideria OSA, dan Sr. Mathea Bakker OSA.
Sementara, Sr. Prudentia OSA punya tugas harian mengurus rumah tangga biara dengan Sr. Euphrasia Laan sebagai Pemimpin Biara.
Berjuang melawan dan untuk air
RS Daerah Ketapang di tahun 1949 itu berdiri di sebuah lokasi tidak jauh dari sungai. Namun dari dan di sungai itu pula, seluruh kegiatan “bersih-bersih” juga terjadi di situ.
Mereka membuang semua sampah di sungai tersebut.
Tidak hanya itu, mereka mencuci semua peralatan RS dan alat rumah tangga –termasuk mencuci sayuran dan buah-buahan—juga di perairan yang sama. Orang –orang lokal juga memperlakuan sungai itu dengan fungsi sama: menjadi tempat sampah sekaligus sumber kehidupan rumah tangga.
Itu baru satu persoalan.
Lainnya adalah air selalu menjadi masalah utama bagi para suster dan semua karyawan RS Daerah Ketapang.
Di kala musim kemarau, air menjadi hal yang sulit ditemui, karena itu mereka “berpaling” ke sungai. Namun, di musim hujan, air menggenangi semua kawasan dan praktis seluruh areal RS itu berada dalam “kobangan” genangan air.
Sementara itu, di dalam zal-zal RS yang hanya berdinding kayu lapis, para pasien hanya bisa tidur di atas tikar. Tidak tersedia bed atau dipan di sana. Pasien itu rata-rata menderita sakit kulit patek (frambusia), cacar, atau tifus. (Berlanjut)