LUMBUNG. Artinya, tempat menyimpan padi atau hasil bumi. Arti lumbung dimaknai juga sebagai daerah penghasil komoditas tertentu, seperti beras, jagung atau kacang kacangan.
Misalnya daerah lumbung beras di Bali ada di Kabupaten Tabanan. Sedangkan jagung di Gorontalo.
Saat ini pun, pemerintah Indonesia sedang membuat program food estate atau proyek lumbung pangan di beberapa tempat seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan di Nusa Tenggara Timur, seperti Sumba yang daerahnya kering sehingga rawan pangan. Untuk mendukung program tersebut, dibangun embung dan waduk.
Pentingnya ketahanan pangan
Hal ini dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Isu ketahanan pangan bukan hanya di Indonesia, tetapi telah menjadi isu global.
Dengan bertambahnya populasi penduduk dunia, kebutuhan pangan semakin besar. Sedangkan kekeringan, konflik dan pandemi yang telah terjadi mengakibatkan kelangkaan pangan.
Seperti beberapa puluh tahun lalu kelangkaan pangan efek kekeringan dan konflik terjadi di Ethiopia; ditayangkan di stasiuan televisi nasional.
Pada saat itu, bapak ibu penulis selalu mewajibkan anak-anaknya selalu menghabiskan makanan agar tidak seperti anak-anak di Ethiopia yang mengalami kelaparan, terlihat kurus dengan perut buncit.
Tanpa penulis sadari, bapak ibu telah mengajari kami menghargai makanan yang tersedia. Dengan menghabiskan makanan berarti bertanggungjawab terhadap apa yang dinikmati, serta berempati terhadap yang kekurangan.
Jika membicarakan ketahanan pangan, masyarakat adatlah yang paling siap menghadapi dengan lumbungnya.
Mengapa?
Resilience masyarakat adat
Karena, masyarakat adat masih berdaulat dan memiliki sistem pengetahuan adat yang tidak terganggu oleh krisis pangan. Masyarakat adat memiliki teritori dan sumber daya alam yang bisa mereka kelola, dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilan dari nenek moyangnya.
Transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan tersebut berlangsung terus-menerus dari generasi ke generasi. Alam juga telah memberikan masyarakat adat kekuatan untuk survive.
Ini menunjukan resilience masyarakat adat lebih unggul dan membuktikan kekalahan gaya hidup orang kota yang konsupmtif.
Seperti masyarakat adat di Sumba yang selalu tergantung pada curah hujan untuk pertanian di lahan kering, yaitu jagung. Setelah panen, jagung disimpan dalam lumbung yang berada di atap rumah yang disebut praing dan sudah mengenal sistem pengawetan alami.
Lumbung di masyarakat adat Bugis juga berada di atap rumah tinggal; disebut rakkeyang.
Berbeda dengan masyarakat adat Sumba dan masyarakat adat Bugis, lumbung masyarakat adat Bali berupa sebuah bangunan yang terpisah dari tempat tinggal. Mereka mengenal beberapa model lumbung berdasarkan bentuk dan kapasitas penyimpanannya.
Ada lumbung dengan nama:
- klumpu yang berkaki tinggi;
- jineng berkaki pendek dan memiliki teras di bawahnya.
- glebek bentuknya segi enam dan besar.
- lumbung terkecil disebut klingking.
Namun di Desa Pedawa tempat masyarakat adat Bali Aga, model lumbung yang dipakai bernama jineng. Saat ini yang disimpan di lumbung adalah jenis padi sawah dalam bentuk gabah.
Zaman dahulu, masyarakat adat Bali Aga di Desa Pedawa sengaja kurangi jatah makan, agar gabah di dalam lumbung tidak cepat habis. Karenanya, terdapat gabah yang sudah berusia 20 tahun.
Padi gaga dan lumbung masyarakat adat Baduy
Peran lumbung di masyarakat adat Baduy masih sangat kuat. Perannya lebih pada menyimpan benih untuk tanam berikutnya dan keperluan upacara adat.
Ada tradisi di masyarakat adat Baduy sekarang, selama mereka mampu, lebih baik membeli dari luar daripada menghabiskan persedian padi di lumbung.
Hal ini di dasarkan pengalaman, bahwa tidak setiap tanam selalu panen. Dan mereka menganggap padi di lumbung sebagai tabungan untuk upacara adat dan kebutuhan keluarga yang lain yaitu perkawinan, sunatan dan kematian.
Upacara adat masyarakat adat Baduy mengharuskan penggunaan beras yang berasal dari padi gaga. Mereka akan malu jika sampai pinjam, karena tidak punya persedian padi gaga.
Bagi mereka menambah satu lumbung atau dua lumbung, akan membuat hati mereka tentram. Beberapa keluarga memiliki padi di dalam lumbung yang usianya 100 tahun.
Biasanya didapatkan dari warisan yang diturunkan dari kakek ke anak dan selanjutnya ke cucu. Ketika orang Baduy menikah, orangtua masing masing pengantin memberikan lumbung sebagai bekal ke anak anaknya.
Sampai saat ini masyarakat adat Baduy masih menanam jenis padi gaga dengan bibit yang dihasilkan sendiri. Mereka menyimpan padi dalam bentuk ikatan, agar awet dan untuk membedakan jenis padi gaga.
Jenisnya yaitu pare koneng, pare ketan dan pare siam.
Sedangkan pare sengke, pare koyong, pare bayur, pare ambu sebagai pelengkap. Pare koneng digunakan dalam acara pernikahan dan sunatan.
Pare ketan untuk membuat wajik dan dodol. Pare siam untuk acara ngrawas.
Seperti di Bali, letak lumbung masyarakat adat Baduy di Kanekes berada di luar rumah, tetapi juga di luar area pemukiman. Agar terhindar dari bencana, misalnya jika pemukiman terbakar, padi akan terselamatkan.
Artinya ketahanan pangan tetap ada. Bagi masyarakat Baduy, kondisi padi yang disimpan di dalam lumbung harus tetap baik dan tidak rusak. Harus dijaga dari cuaca, misalnya terkena air hujan karena atap bocor, yang menyebabkan padi menghitam dan bahkan membusuk.
Lumbung mulai ditinggalkan masyarakat adat
Tidak seperti masyarakat adat Baduy yang masih mempertahankan ketahanan pangan dengan lumbung padinya. Keberadaan lumbung di Pulau Jawa sudah tidak ada. Bahkan keberadaan lumbung padi di Bali yaitu Kabupaten Tabanan yang merupakan daerah lumbung beras pun sudah jarang ditemui.
Saat ini ada perubahan nilai dalam memandang hasil panen, ketika panen, petani langsung menjual padi dan hanya menyisahkan sedikit untuk kebutuhan keluarga sampai musim panen kembali.
Dengan menjual hasil panen, petani langsung mendapatkan uang. Dan jika beras habis, lebih mudah untuk membeli.
Sedangkan pada masyarakat adat Bali Aga di Desa Pedawa Kabupaten Buleleng, lahan kering yang dahulu ditanami padi gaga. Sekarang beralih fungsi ditanami tanaman yang mempunyai nilai eknomis tinggi seperti cengkeh dan durian.
Padi gaga terakhir di tanam secara serentak di Desa Pedawa sekitar tahun 1971 sampai dengan 1977. Padahal padi gaga merupakan sarana yang penting dalam upacara adat.
Untuk melengkapinya sebagai sarana upacara, orang Pedawa membelinya di daerah lain seperti di Bangli atau pun di daerah Tenganan Karangasem.
Secara keseluruhan di Bali, keberadaan padi gaga juga semakin jarang. Akibatnya, keberadaan lumbung pun semakin berkurang. Selain itu, banyak lumbung diperjualbelikan sebagai barang antik untuk keperluan dekorasi di industri pariwisata.
Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi
Sedikit berbeda dengan masyarakat adat yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi, lumbung pangannya adalah hutan. Mereka mampu hidup dari hasil hutan.
Namun ketika mulai bersentuhan dengan dunia luar, berinteraksi dengan orang luar dan program pemerintah yang mengharuskan sama dengan penduduk sekitarnya.
Kearifan nenek moyang mulai ditinggalkan. Hasil hutan yang biasanya mereka simpan atau pengambilannya tidak berlebihan, menjadi berlebihan.
Pengambilan yang berlebihan ini menjadikan hutan gundul dan beberapa keanekaragaman hayati hilang. Pendapatan dari penjualan hasil hutan, keluar untuk memenuhi konsumsi, yaitu membeli ubi kayu, mie instan dan lain lain di desa terdekat. Sebetulnya kebutuhan pangan dapat mereka usahakan dari hutan, tempat mereka tinggal.
Laudato Si’
Dalam Ensiklik Laudato Si‘, mengenai ekologi budaya, Paus Franssikus memberi perhatian kepada budaya lokal. Salah satu budaya lokal yang dimiliki masyarakat adat adalah lumbung sebagai simbol ketahanan pangan.
Namun keberadaanya terkikis, karena perkembangan zaman yang cenderung menyeragamkan. Padahal setiap masyarakat adat mempunyai keunikan dalam mengelola lingkungannya agar tetap survive.
Program untuk kesejahteraan umum tidak memperhatikan permasalahan yang ada di dalam masyarakat adat. Dan kurang mendorong masyarakat adat lebih berperan, dengan menyesuaikan kehidupan yang semakin dinamis, mengikuti perkembangan zaman.
Hutan merupakan lumbung masyarakat Suku Anak Dalam. Praktik perambahan hutan yang dilakukan secara berlebihan untuk memperoleh pendapatan telah mengakibatkan rusaknya hutan. Termasuk mengakibatkan hilangnya lumbung. Terjadi demikian, karena telah lunturnya pemahaman terhadap nilai panen.
Sumber: Hasil riset lapangan tentang “Manifestasi Dewi Padi“ yang belum terpublikasi