“Bagaimana Daud masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam?” (Luk 6, 4)
MASYARAKAT pedesaan masih sering membuat ‘sajen’ atau makanan sesaji pada saat-saat tertentu, seperti pada saat peringatan arwah orang yang sudah meninggal, saat mau mengolah sawah, saat mempunyai hajat. Ada juga yang membuat sesaji pada hari-hari tertentu dan meletakkannya di tempat yang dianggap keramat.
Beberapa kelompok masyarakat juga membuat sesaji pada saat penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan. Mereka mempersiapkan berbagai jenis makanan, bunga dan wangi-wangian. Kemudian para penatua mendoakan makanan sajian seperlunya dan menyantapnya. Warga lain pun biasanya ikut menikmati makanan sajian yang ada.
Kebiasaan seperti ini rupanya dikenal sejak lama dalam kehidupan banyak bangsa, termasuk pada jaman Raja Daud. Membuat makanan sesaji biasanya berhubungan dengan suatu upacara atau ritus tertentu, dengan segala macam ketentuannya. Banyak orang membuat makanan sesaji dengan maksud agar mendapatkan berkat dan keselamatan bagi anggota keluarga, masyarakat atau orang yang didoakan dalam kesempatan itu.
Makanan sesaji sering memuat banyak simbol-simbol tertentu yang bisa menjadi sumber pengajaran berharga bagi banyak orang. Tumpeng, misalnya, sering diartikan sebagai sikap keterarahan hidup manusia terhadap ‘Yang Kuasa’, yakni ‘tumenga ing Pengeran.’
Makanan sesaji tidak hanya menjadi ungkapan keyakinan orang tarhadap peran ‘Yang Kuasa’, tetapi juga mengembangkan dimensi sosial antar warga. Mereka berkumpul bersama, berdoa bersama dengan pimpinan penatua dan akhirnya makan bersama. Kebersamaan hidup dan solidaritas antar warga tetap dikuatkan dan dijaga keberlangsungannya.
Teman-teman selamat malam dan selamat beristirahat. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
