Makna Prihatin

3

puasaDi Merauke, Papua, ada daerah yang dihuni oleh para transmigran. Salah satu lokasi itu namanya Semangga dan penduduknya mayoritas suku Jawa.  Saya singgah  di sana berbincang-bincang dengan keluarga tersebut. Bapak keluarga berkata bahwa  dalam minggu ini semestinya keluarga mengadakan pesta Perak Perkawinan.

Namun berhubung salah satu anaknya yang bernama Sri Suprihatini sedang menderita sakit yang serius, maka keluarga itu prihatin. Rencananya Pesta Perak akan dibuat meriah di Balai Desa dengan disuguhi kerawitan yang gamelannya sudah nyaris rusak, karena di Merauke tidak ada bengkel gamelan. Namun karena rasa prihatinnya, keluarga hendak merayakan pesta itu hanya dengan mengundang tetangga untuk berdoa bersama dipimpin  oleh ustad. 

Secara etimologi, saya tidak memahami makna prihatin. Tetapi dari othak-athik gathuk, barangkali dari kata perih dan ati, yang berarti: hatinya pedih.  Hatinya sedang pedih karena pengalaman hidup ekonomi  yang berat.  Orang-orang Jawa mempunyai kebiasaan puasa senin kamis untuk prihatin atau olah rohani (askese) supaya kuat menghadapi hidup yang tidak mudah. Nenek moyang kita telah mengalami sendiri (Zaman Belanda-Jepang-Revolusi-Orde Lama) bagaimana hidup prihatin. Hidup mereka ‘serba terbatas’ bahkan harus mengikat pinggang supaya mampu bertahan hidup.

Para founding father mengalami hidup yang sangat prihatin. Majalah Tempo menerbitkan buku yang pantas kita apresiasi  yakni 4 sekawan (Sukarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka) pendiri bangsa Indonesia.

Melalui mereka itu, kita bisa berrefleksi tentang keprihatinan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jembatan Emas Kemerdekaan yang digagas oleh Bung Karno tidak dibangun tanpa pengorbanan jiwa dan raga. Mereka hidup amat prihatin dan tidak jarang diasingkan dalam penjara. Bung Karno (1901 – 1970), misalnya diasingkan di Soekamiskin (29 September 1929).

Namun dalam keprihatinan tersebut, meski 1929).  Di pintu penjara itu ada tulisan,  ‘Incipit vita nova ‘ mulai sekarang saya akan merubah penghidupan saya. Tetapi Bung Karno menimpalinya, ‘Tidak baik, buat apa saya itu kalimat tidak bisa dipakai. Bagi saya masuk penjara sebagai pemimpin, keluar penjara harus sebagai pemimpin, bahkan harus lebih hebat lagi!’

Bahkan selama di penjara tersebut, ia malah menjadi kreatif dan terbitlah buku monumental dengan judul: Indonesia Menggugat. Kemudian 31 Desember 1931, Bung Karno keluar dari Soekamiskin dan dipindah ke Ende. Di sana menulis risalah yang berjudul  Menggali Api Islam (Notosoetardjo dalam Bung Karno Mentjari dan menemukan Tuhan). Setelah 4 tahun di Ende itu, Bung Karno dipindah oleh Belanda ke tempat pembuangannya yang baru pada 14 Februari 1938 di Bengkulu. Tan Malaka (1897 – 1949 ) yang berjuang demi kemerdekaan tertuang dalam buku yang berjudul Dari Penjara ke Penjara.

Sastrawan dan pengamat film, Arswendo Atmowiloto  menulis Menghitung Hari ketika dalam bui dan Hitler (1889 – 1945) menulis buku Main Kampf  atau My Struggle  dalam tahanan. Dalam pengasingan dan penderitaan serta keprihatinan tersebut, orang-orang menjadi sehati-seperasaan dengan orang-orang yang terbelenggu. Dari sanalah master-piece tercipta. 

Diktum Ovidius, ‘Dulcia non meruit, qui non gustavit amara’ yang berarti: yang tidak pernah mencecap kepahitan tidak akan dapat pula menikmati kemanisan memang sungguh terbukti. Penderitaan dan keprihatinan yang diterima dengan ikhlas membuahkan hasil yang memuaskan.

Masa pengasingan dan pembuangan serta keprihatinan merupakan moment yang tepat untuk  mengenali potensi diri. Masa-masa seperti ini dalam tradisi Gereja Katolik disebut sebagai Masa Retret Agung (Bdk. Penanggalan Liturgi dalam setiap  masa Prapaskah). 

Wiracerita dari Ramayana dan Mahabaratha memberikan gambaran yang jelas bahwa dalam masa pembuangan di hutan Dandaka dan hutan Kamyaka itu tidak ada yang hilang, nothing to lose. Dalam Mahabaratha misalnya,  putra-putra Kunthi menemukan kekuatan dalam keprihatinan.

Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan Hanoman dan Dewa Ruci dan pengalaman Yudhistira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan batin serta kemuliaan rohani para Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,  mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma. 

Apa yang dialami oleh para Pandawa itu menurut bahasanya Stephen Covey  (1932 – 2012) dalam Tujuh Kebiasaan Yang Efektif sebagai mengasah gergaji. Gergaji yang dipakai terus-menerus akan menjadi tidak tajam, kethul. Inilah yang disebut dengan Retreat (bhs. Latin: Re-trahere, yang berarti menarik diri dari keramaian). Orang-orang besar dalam sejarah, sebelum melaksanakan tugas besar terlebih dahulu menyepi. Nabi Muhammad  menyepi di Gua Hira, Nabi Isa  berpuasa di gunung dan Sidharta Buda Gautama mengadakan meditasi di bawah pohon Bodi.

Pengalaman hidup prihatin dan menderita-sengsara bagi orang yang berjiwa besar, bukan sebagai aib atau nista, melainkan memiliki makna rohani. Tulisan Ir. Sukarno  dalam Di Bawah Bendera Revolusi, mengajak para orang-orang optimis. Tulisnya, ….Muting, Digoel,… Banda! Dan kawan kita Tjipto Mangunkusuma (1886 – 1943) berangkat membawa keluarganya, diiringi oleh isterinya yang berani dan berbesar hati meninggalkan kita.

Dalam artikel itu, Sukarno menyebut  “sampai ketemu lagi”  kepada Tjipto dan bukan  “selamat berpisah”. Bagi para pendiri bangsa ini, pembuangan dan diasingkan malah bisa menjadi tempat kawah condrodimuka (tempat untuk mengasah dan menguji kemampuan).  Di tempat pembuangan, penggemblengan dan  penjara tentu manusia mengalami penderitaan. 

Ketika Perang  Dunia I berkecamuk, Inggris mengalami tekanan yang berkepanjangan.  Dalam keadaan yang tertekan itu, Lloyd  George Perdana Menteri Inggris ditanya oleh temannya, “Bagaimana kau menjaga dirimu agar tetap sehat dengan semua tekanan pekerjaan dan kekuatiranmu?” Kata sang Menteri itu, “Oh, Aku menganggap kesulitan sama baiknya seperti hiburan.”

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version