Home BERITA Malam Satu Suro di Stasi Tegal Arum, Baturaja, Keuskupan Agung Palembang

Malam Satu Suro di Stasi Tegal Arum, Baturaja, Keuskupan Agung Palembang

0
Perayaan Ekaristi Inkulturasi Jawa di Malam Satu Suro di Stasi Tegal Arum, Baturaja, Keuskupan Agung Palembang. (Sr. Fransiska Agustine FSGM)

MALAM Satu Suro, 29 Juli 2022, diadakan Perayaan Ekaristi inkulturasi budaya Jawa. Berlangsung di Stasi Keluarga Kudus Tegal Arum, Susteran St. Antonio Baturaja, Keuskupan Agung Palembang.

Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Romo Yohanes Kristianto Pr ini diwarnai dengan lagu, busana, iringan musik yang sangat khas Jawa. Acara tahunan ini selalu diadakan bertepatan dengan malam menjelang Tahun Baru Jawa atau yang disebut Malam Satu Suro.

Memelihara budaya Jawa

Memang tidak ada kaitan langsung antara Perayaan Ekaristi inkulturasi dengan makna Perayaan Satu Suro. Tetapi momen malam Tahun Baru Jawa dijadikan saat yang tepat untuk Perayaan Ekaristi inkulturasi dalam budaya Jawa.

Tentu dengan tetap menekankan unsur panggilan hidup Kristiani, yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang di tengah masyarakat. 

Tujuannya, untuk memelihara kebudayaan Jawa. Dalam bahasa Jawa, kegiatan ini sering disebut dengan istilah nguri-uri. Yakni:memelihara dan merawat nilai-nilai budaya.

Persembahan berupa aneka hasil bumi terjadi dalam perayaan ekaristi inkulturasi di Stasi Tegal Arum, Baturaja, Keuskupan Agung Palembang.
Antusiasme segenap mengikuti Perayaan Ekaristi inkulturasi di Malam Siji Suro.

Ini dapat terlihat dari busana, bahasa, lagu yang semuanya bernuansa Jawa.   

Intinya, merawat dan memelihara nilai-nilai luhur kehidupan. Dalam konteks Gereja, maka hal itu berarti: merawat. Memelihara. Menghidupi nilai-nilai Kerajaan Allah.

Kekayaan Gereja dan stasi

Di Tegal Arum, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Mereka nyaris kehilangan tempatnya, terutama di kalangan kaum muda.

Stasi Tegal Arum ini menjadi satu dari sedikit tempat di Keuskupan Agung Palembang yang masih mengadakan Ekaristi dalam bahasa Jawa. Oleh pastor, tradisi ini akan terus dipertahankan. Dijadikan sebagai tradisi dan kekayaan Gereja dan Stasi itu sendiri.   

Jangan sampai tersingkir

Dunia mengalami perubahan besar. Budaya modern memasuki sisi-sisi kehidupan, dan mulai memenangkan ‘pertandingan.’

“Kita pun berusaha berhadapan dengan budaya modern itu. Kita jangan sampai kalah. Jangan sampai tersingkir,” ujar Romo Kris, sapaan akrabnya.  

Ia berharap, semoga budaya yang mengandung nilai-nilai luhur yang selaras dengan ajaran Kristiani ini masih mendapatkan tempat di hati sanubari generasi muda saat ini.

Selain itu, para sesepuh masih dengan setia memeliharanya.

Adat budaya khas Jawa mengisi ruang-ruang Perayaan Ekaristi inkulturatif di Malam Satu Suro.

Zaman berbalik

Dalam homilinya, Romo Y. Kristianto Pr mengatakan, saat ini manusia sedang berhadapan dengan kenyataan wolak-waliking zaman, mengarah pada rusaknya tatanan keluhuran agama dan budaya. 

Tanda-tandanya dapat dilihat dari:

  • Semakin banyak orang tidak lagi mengindahkan hukum Allah.
  • Yang suci dan kudus malah ditinggalkan.
  • Rumah “suci” semakin dijauhi.
  • Banyak orang lupa jatidiri kemanusiaan
  • Yang salah disanjung, sebaliknya  yang baik dan benar disingkirkan
  • Orang jahat, naik pangkat.
  • Orang yang lugu, dibelenggu.
  • Orang yang mulia, dipenjara.

Itu baru beberapa. Kenyataannya, masih banyak. Manusia semakin jauh dari keluhuran budi dan hatinya, sehingga semakin jauh pula dari taat dan patuh pada hukum Tuhan.

Seperangkat gamelan dengan gendhing-gendhing khas Jawa mengiringi Perayaan Ekaristi inkulturatif.
Semua bersemangat nguri-nguri budaya Jawa di Tegal Arum, Baturaja, Sumsel.

Eling lan waspada

Tuhan Yesus menegaskan, “Waspada  dan berjaga-jagalah senantiasa”.

Kita membahasakannya dengan nasihat: sing padha eling lan waspadha, jangan sampai jatuh ke dalam pencobaan.

Maka para murid Kristus dipanggil untuk mempersatukan diri  dengan kasih Allah. “Nyawiji marang katresnaning Gusti agar tetap hidup selaras dengan kehendak dan hukum Tuhan,” kata Romo Kris.

Ada ungkapan pitutur Jawa: “Natas, nitis, netes.“ Artinya: Dari Tuhan, kita ada. Bersama Tuhan, kita hidup. Bersatu dengan Tuhan kita kembali.

Usai Perayaan Ekaristi diadakan ‘ambengan’. Makan bersama dengan pincuk (piring daun). Selain itu, potong tumpeng.

Diadakan pula pertunjukkan ketoprak hingga pukul 21.00 WIB.

Potong tumpeng sebagai tanda ungkapan syukur atas berkah yang diterima dari Tuhan selama ini.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version