Semua mahasiswa asyik menulis apa yang diketahui. Namun, ada seorang mahasiswa yang terlalu asyik dengan hal-hal positif dalam hidup sehingga belum sempat menuliskan pertanyaan berikut. Sebelum menyerahkan kertas ujiannya, dia cepat-cepat menulis kata-kata berikut,”Maaf pak dosen, saya tidak mempunyai waktu untuk menuliskan hal-hal negatif dalam hidupku.”
Orang-orang yang memiliki visi itu pandangannya jernih. Richard Carlson dalam Don’t Sweat The Small Stuff and It’s All Small Stuff, menulis bahwa banyak hal-hal kecil dan tidak penting menghalangi kegiatan kita. Kalau kita hanya terpancang pada hal-hal yang negatif dalam hidup kita, maka apa yang kita hadapi semuanya muram dan gelap.
Jika bukan karena Christopher Columbus (1451- 1506), yang berani mengarungi lautan luas, maka benua Amerika ditemukan. Jika bukan karena Thomas Alva Edison (1847 – 1931), maka dunia ini masih dalam kegelapan.
Jika bukan karena keberanian Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904) yang menentang adat pingitan, mungkin wanita Indonesia masih terkungkung tradisi lama. Orang yang kontributif tidak ada waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjold (1905 – 1961), Sekretaris Jendral PBB dari 10 April 1953 sampai 18 September 1961, pernah berkata, “Kebaikan merupakan hal demikian sederhana, yaitu selalu hiduplah demi orang lain, jangan pernah mencari keuntungan diri sendiri.”
Para pribadi yang memiliki visi, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan talenta untuk kesejahteraan umat manusia (bonum commune). Bahkan mereka tidak ragu-ragu mengorbankan hidupnya bagi negara (pro patria). Mereka adalah para pahlawan, kusuma bangsa. Menurut John Kennedy (1917-1963) mereka adalah orang-orang yang berkata, “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”
Orang yang memiliki positive thinking, tentulah memiliki hati yang jernih. Mereka tidak akan membiarkan ‘informasi sampah’ itu masuk dalam pikirannya. Arvan Pradiansyah dalam “Life is Beautiful”, Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, menjelaskan bahwa apa yang kita hadapi dalam hidup ini tergantung bagaimana cara kita memandangnya (paradigma: kerangka berpikir).
Seringkali kita memandang tingkah laku orang seperti yang kita lihat. Ketika menyaksikan orang bertingkah laku di luar rumah dan kita melihatnya melalui jendela, reaksi kita adalah orang itu bersikap tidak baik. Tetapi setelah kita berrefleksi, ternyata kaca jendela rumah kita tidak jernih dan buram, sehingga melihat orang lain pun demikian buram. Tugas kita adalah membersihkan kaca jendela tersebut supaya menjadi bersih, sehingga cara pandang kita pun menjadi jernih.
Kejernihan hati, terlihat dalam diri orang yang jujur. Kidh Hidayat dalam 30 Dongeng sebelum Tidur untuk Anak Muslim, mengisahkan seorang gadis pemerah susu. Karena kejujurannya, ia diambil menantu oleh Khalifah Umar bin Katthab (581 – 644) dan pada gilirannya, sang menantu itu melahirkan Umar bin Abdul Azis (682-720), khalifah kelima yang sangat terkenal dan bijaksana. Kejernihan hati, tidak sekali jadi (instan), melainkan melakukan sebuah proses yang panjang.
Orang-orang menjadi besar karena mereka setia kepada perkara-perkara kecil (bdk. Luk. 16: 10). Para penemu, negarawan, pahlawan dan orang bijak adalah mereka yang tekun mengasah budi dan hati supaya selalu menjadi jernih serta menyingkirkan pikiran-pikiran yang negatif yang tidak penting (20 Agustus 2012).