Home BERITA Mari Kita Hadapi Penyakit Difteri

Mari Kita Hadapi Penyakit Difteri

0
Ilustrasi: Difteri. (Ist)

BUPATI Kabupaten Tangerang Zaki Iskandar pada Jumat, 3 November 2017 menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Difteri di Kabupaten Tangerang Banten. Kasus difteri di Provinsi Banten sepanjang tahun 2017 berjumlah 57 kasus dengan kematian 7 kasus (CFR 12,3%), yang tersebar di seluruh (8) kabupaten dan kota.

Apa yang harus dicermati?

Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri ‘Corynebacterium diphtheriae’ yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian anak melalui obstruksi larings atau miokarditis akibat aktivasi eksotoksin. Difteri sangat menular melalui droplet atau percikan air liur.

Gambaran klinis difteri adalah demam 380C, pseudomembran putih keabu-abuan, tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher bengkak seperti leher sapi (bullneck), karena pembengkakkan kelenjar getah bening leher, dan sesak nafas disertai bunyi.

Kasus difteri  probable adalah kasus yang menunjukkan gejala demam, sakit menelan, pseudomembran, pembengkakan leher dan sesak nafat disertai bunyi (stridor). Sedangkan kasus konfirmasi atau probable difteri adalah yang disertai hasil laboratorium adanya bakteri pada hapusan tenggorok, hidung atau luka di kulit.

Penyakit ini sebagian besar mengenai anak umur 1-5 tahun. Sebelum umur 1 tahun dan semakin bertambah umur, ‘age specific attack rate’ semakin menjadi kecil.

Terdapat 130 dari 194 negara anggota WHO yang telah mencapai dan mempertahankan cakupan 90% untuk DPT3 di tingkat nasional, sesuai dengan target dalam ‘Global Action Plan’. Pada tahun 2016 imunisasi dasar lengkap sudah diberikan pada 4.337.411 bayi atau 91,1%, di Banten diberikan pada 226.762 bayi atau cakupan 93,8%, di Kalimantan Utara cakupannya terendah pada 8.177 bayi atau hanya 56,1%.

Cakupan ini sesuai laporan oleh WHO dan UNICEF bahwa di seluruh dunia terdapat 12,9 juta bayi, hampir 1 dari 10 bayi yang tidak diimunisasi, disebut ‘missing out’ atau hilang peluang, pada tahun 2016. Ini berarti bahwa bayi tersebut berada pada risiko serius dari penyakit yang berpotensi fatal, seperti pada saat terjadi KLB difteri.  

Satu kasus sudah KLB

Apabila ditemukan satu pun anak penderita difteri, sudah merupakan KLB.

Difteri harus dihadapi dengan mekanisme penderitanya segera dibawa ke rumah sakit, diisolasi dan mendapatkan pengobatan antibiotik dan Anti Difteri Serum (ADS). ADS selalu tersedia, tetapi terpusat di Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav. Jakarta Selatan, Hotline 021-5201590 ext 5809 dan email: ie.farmalkes@kemkes.go.id.

Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel terhadap penderita dan sampel dikirim ke laboratorium.

Terhadap kontak penderita diberikan antibiotik eritromisin 500 mg selama 7-10 hari. Kontak penderita adalah orang yang tinggal satu rumah, yang berbagi peralatan makanan minuman yang mungkin terkena sekret penderita.

Jika hasil laboratorium kontak penderita juga positif, maka dilanjutkan pemberian antibiotik selama 7-10 hari lagi, sampai hasil pemeriksaan laboratoriumnya negatif. Selain itu, juga dilakukan pemantauan kontak penderita, agar obat diminum sesuai aturan.

Upaya lainnya untuk memutuskan rantai penularan penyakit adalah dengan melakukan Outbreak Respon Imunisasi (ORI), yang dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah KLB diumumkan. Ruang lingkupnya meliputi seluruh anak balita di wilayah dimana kasus ditemukan. Luasnya ORI adalah pada wilayah KLB, minimal 1 wilayah puskesmas atau kecamatan, dan wilayah sekitar yang beresiko berdasarkan kajian epidemiologi.

ORI dilakukan pada semua anak, tanpa melihat riwayat imunisasi DPT sebelumnya dan tanpa menunggu hasil laboratorium.

Peran serta masyarakat dalam menghadapi difteri juga harus ditingkatkan, untuk imunisasi DPT-HB-Hib pada bayi di bawah 2 tahun, dan cakupan BIAS DT dan Td pada anak sekolah dasar atau sederajat.

Selain itu, juga melaporkan segera ke puskesmas jika ada penderita dengan gejala mirip difteri, dan memakai APD (masker) jika batuk atau bersin. Membudayakan hidup bersih dan sehat, serta melibatkan peran lintas sektor dan stakeholder di luar kesehatan, untuk memberikan informasi tentang penyakit difteri dan pencegahannya, berupa imunisasi DPT dan dasar lengkap.

Gagal target

Terjadinya KLB difteri, mencerminkan cakupan imunisasi yang gagal mencapai target. Selain itu, juga dugaan bahwa imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak. Hal ini disebabkan karena vaksin DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, sangat diperlukan kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan.

Imunisasi DPT 5 (lima) kali harus dilengkapi, sebelum anak berumur 6 tahun.

Imunisasi akan menyelamatkan nyawa anak, sehingga harus dianggap sebagai prioritas utama.

Menurut Dr. Jean-Marie Okwo-Bele, Direktur Imunisasi, Vaksin dan Biologis WHO, imunisasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling berhasil dan hemat biaya (most successful and cost-effective). Menurut Dr. Robin Nandy, Chief of Immunizations di UNICEF, imunisasi adalah salah satu intervensi yang paling perlu disetarakan (the most pro-equity interventions), dengan berbagai upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan pemberian, terkait dengan status ekonomi, tempat tinggal, pendidikan ibu dan banyak faktor lain di banyak negara.

Saat menghadapi  KLB difteri di Banten, kita diiingatkan juga akan anak di Kalimantan Utara dengan cakupan imunisasi terendah di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang berisiko tinggi tidak diimunisasi, ‘missing out’ atau hilang peluang mendapatkan imunisasi DPT.

Mari kita hadapi difteri.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version