Tanaman anggur adalah tanaman yang lemah dan butuh pemeliharaan ekstra. Pemilik kebun anggur itu harus bekerja banyak menyiapkan kebunnya. Dari Yes. 2, dilukiskan banyaknya pekerjaan: mencangkul, membuang batu-batu (yang sangat banyak di Israel) dan menanaminya dengan anggur pilihan.
Lalu persiapan untuk panen: menara jaga untuk mengawasi kebun itu dari pencuri, tempat pemerasan anggur. Dalam Injil Mat, masih ditambahkan pagar sekelilingnya, untuk mencegah binatang buas atau ternak masuk dan merusak kebun itu. Tentu pemilik kebun itu mengharapkan hasil dari investasi besar yang sudah dilakukannya.
Tindakan para penyewa yang tidak mau menyerahkan bagi hasil, sudah tidak benar. Yang paling buruk, mereka mencoba merampas tanah itu dengan membunuh akhli warisnya. Tanah adalah tanda berkat Allah kepada bangsa terpilih. Tanah sebagai hak waris, sedapat-dapatnya jangan dijual.
Sekarang mereka mencoba merampasnya. Ini tindakan yang sangat tidak dapat diterima. Jadi jawaban para pemimpin bangsa Yahudi adalah jawaban logis. Orang yang seperti itu, layak dibunuh dan diganti oleh yang lebih bertanggung jawab.
Tersindir
Mereka menangkap maksud Yesus dengan perumpamaan ini. Mereka merasa tersindir, tetapi mereka berkeras tidak mau mengubah pandangan dan sikap hidup mereka. Yesus tetap dilihat sebagai yang membahayakan ketertiban masyarakat dan dapat menjadi ancaman penekanan dari pemerintah Romawi untuk bertindak lebih keras lagi kepada mereka. Mereka ingin mengamankan posisi dan kedudukan mereka dan menolak untuk menerima ajakan Yesus untuk melihat bahwa Allah sudah datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka menolak untuk bertobat dan berubah.
Satu hal perlu kita perhatikan. Yesus belum ditangkap dan dibunuh saat Yesus menceritakan perumpamaan itu. Jadi bukan maksud Yesus mengadili para pemimpin Yahudi. Pesan ini juga bukan dimaksudkan agar kita mengadili orang lain, para pemimpin Gereja atau diri kita sendiri. Setiap kita mendapat berkat dari kemurahan Allah. Dan tentu Allah mengharapkan ada hasil dari berkat yang diberikanNya, bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi Allah, Sang Pemberi Berkat. Ungkapan terimakasih kita kepada Allah, terungkap bukan hanya kepada Gereja, tetapi juga kepada sesama. Kalau kita belum berbuah seperti yang diharapkan Allah, masih ada kesempatan.
Ada seorang pengembara yang ditangkap segerombolan perampok. Sesudah merampas semua harta miliknya, dia di bawa ke tengah kegelapan hutan. Para perampok itu mengikat seutas tali di cabang pohon besar dan menyuruh pengembara itu berpegangan pada tali itu. ”Kalau kamu lepaskan tali ini, kamu akan jatuh dalam jurang dan badanmu akan hancur berkeping-keping di bebatuan di dasar jurang itu.”
Dia ditinggalkan sendirian dalam gelap pekat, tergantung berayun-ayun pada seutas tali. Pengembara itu sangat ketakutan dan putus asa menghadapi nasib buruknya. Ia berpegangan kuat-kuat pada tali itu, ia tahu, ia sedang mengulur waktu untuk jatuh dan hancur di dasar jurang. Kekuatannya terus merosot, tangannya kejang dan akhirnya pegangannya melemah, dia jatuh ke bawah…. ke tanah keras satu meter di bawahnya. Ancaman itu hanya tipuan para perampok untuk mencuri waktu untuk melarikan diri. Jadi, jika ia melepaskan pegangannya, ia bukan jatuh mati, tapi jatuh pada keselamatan yang sudah menunggunya selama ia ketakutan pada kematian.
Berpegangan kuat-kuat tidak akan menyelamatkan orang dari keputus asaannya. Berpegangan dan tidak mau berubah adalah tipu muslihat setan agar kita tidak mencapai keamanan dan damai dalam kepastian janji Tuhan. Dan selama itu, kita terus terayun-ayun dalam ketakutan dan ketidak percayan. Lepaskan! Memang Tuhan merencanakan kejatuhan kita.
Bukan jatuh dalam kegagalan, tapi ke dalam tanganNya, batu karang yang kokoh. Saat kita menyadari ketidak berdayaan kita dan tenaga kita melemah, kita terpaksa melepaskan pegangan kita. Pada saat kita jatuh di tanganNya, ketakutan kita lenyap, ketidak percayaan kita hilang dan kepastian yang penuh berkat menyertai kita selamanya. Iman adalah….. berani melepaskan.
Keengganan untuk berubah adalah tanda ketakutan dan ketidak percayaan bahwa ada Tuhan yang akan menuntun kita. Kita mencari rasa aman dan kepastian dari hal-hal yang sudah biasa kita lakukan. Dengan risiko, hidup kita tidak berbuah seperti yang diharapkan Tuhan.
Tetapi sekali lagi, bukan hukuman yang menunggu kita, tetapi kesempatan untuk sekali lagi mengusahakan pertumbuhan dan buah-buah dalam kehidupan kita yang dapat dipakai Allah untuk menunjukkan kasihNya kepada sesama kita. Beriman berarti: percaya masih ada kesempatan untuk berubah. Tuhan menunggu kita, amin.
MINGGU BIASA 27, A; 2 Oktober 2011
Yes. 5:1-7; Flp. 4:6-9; Mat. 21:33-43