Namun, longsoran salju itu bukan sembarangan karena lapisannya menjalar sepanjang 40 meter dengan lebar 30 meter. Tak ayal, terjadi kerusakan parah dari otak pangeran. Kepada para wartawan di RS Universitas Innsbruck Austria Dr. Wolfgang Koller mengatakan, butuh waktu lama sekali untuk bias “membangunkan kembali” Sang Pangeran dari tidur panjangnya: koma.
Pernyataan itu disampaikan setelah dilakukan MRI Scan atas kepala pangeran dan kemudian dinyatakan terjadi “kerusakan parah” di dalam batok kepala sang pangeran. “Kita tidak bisa mengatakan dengan pasti hari ini apakah Pangeran Friso suatu hari akan sadar kembali,” tambah Dr Koller, kepala unit trauma di rumah sakit. “Dalam kasus apa pun, rehabilitasi neurologis akan akan makan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,” tambahnya.
Menurut berita kanal TV Italia1, pihak keluarga kerajaan Belanda saat ini tengah mempertimbangkan apakah perlu melakukan eutanasia terhadap Pangeran Friso atau tidak. Opsi ini jelas tidak akan bisa dilakukan di Austria. Namun di Belanda hal itu dimungkinkan.
Menurut Hans van Zon, editor Algemeen Dagblad, keluarga kerajaan tidak dapat memutuskan melakukan eutanasia seperti halnya rakyat umumnya. Ini karena posisi mereka sebagai representasi negara. Pun pula juga karena Gereja menentang euthanasia.
Di Belanda, euthanasia hanya dapat dilakukan atas kehendak pasien sendiri. Sementara Pangeran Friso hingga kini masih dalam kondisi koma. Pada dia juga tidak ditemukan dokumen apa pun yang menjelaskan kehendaknya mengenai euthanasia.
Pangeran Friso yang kini berusia 43 tahun itu adalah putra kedua Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda. Namun, karena menikah tanpa izin pemerintah Belanda dia “kehilangan” haknya sebagai pewaris tahta Kerajaan Belanda. Dari perkawinannya dengan Mabel Wisse Smit –seorang aktivis HAM—dia mendapat dua anak bernama Luanda dan Zaria.
ia tidak dalam antrian meraih tahta sejak dirinya menikah pada tahun 2004 tanpa izin pemerintah. Dia memiliki 2 anak dari pernikahannya, Luanda dan Zaria.