INI hasil refleksi pribadi. Mendudukan diri sebagai seorang Suster Biarawati Abdi Kristus (AK) yang hidup di era digital. Saya memulai dengan semacam preposisi diri. Yakni, bahwa menjadi pelayan sebagai Abdi Kristus mengandaikan dirinya paham betul pihak mana atau siapa yang diabdinya.
Yesus adalah yang kita abdi. Yesus rela merendahkan diri menjadi manusia yang terlemah, lahir di kandang, ditolak, dihina, direndahkan, disakiti dll. Maka, kehadiran Yesus sungguh tampak di dalam diri orang-orang yang lemah; bukan orang-orang hebat.
Yesus bahkan hadir dalam diri orang-orang yang penuh dengan permasalahan hidup. Maka, jangan biarkan diri kita menjadi “pelaku yang menyakiti”.
Pesan ini sungguh menohok hati saya. Saya jadi teringat akan sosok diri saya sendiri: penuh dengan kelemahan yang tanpa disadari juga sering mudah menyakiti sesama.
Setelah lama bergumul dalam proses pengembangan pribadi, maka akhirnya saya bisa menyimpulkan sendiri demikian. Kalau ada yang mengaku diri sebagai Abdi Kristus namun merasa diri paling hebat, dengan mudah meremehkan orang lain dan tidak memiliki rasa empati dengan orang di sekitarnya, maka patut dipertanyakan: Siapakah yang dia abdi?
Begitulah pokok utama hasil refleksi akhir di dalam retret tahun lalu. Pokok pikiran ini selalu menjadi bahan permenungan saya pribadi. Barangkali akan menjadi tugas permenungan pribadi sepanjang dan seumur hidup. Apalagi saya sebagai suster biarawati Kongregasi Abdi Kristus (AK).
Kisah si janda miskin dalam Kitab Suci
Mari belajar dari janda miskin yang dipuji oleh Yesus. Karena ia mempersembahkan hidup dari kekurangannya. Dimulai dari kesadaran untuk menerima diri. Bahwa masing-masing kita ini selalu saja penuh dengan kekurangan; baik secara jasmani maupun rohani. Kemudian, muncul keinginan mau mempersembahkan semuanya itu kepada Tuhan. Dilakukan dengan sepenuh hati.
Semakin kita menyadari diri bahwa masing-masing kita ini memang selalu penuh kekurangan. Maka, semakin kita akan selalu merasa diri harus bergantung pada Yesus – Sang Sumber Kekuatan.
Dan akhirnya kekuatan Yesuslah yang harus menjadi sumber pelayanan. Sekaligus juga, Yesus itu akan selalu menjadi fokus dan pusat misi kita untuk diwartakan. Bukan kedirian kita. Untuk jadi target pewartaan. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sebentar lagi kita akan memasuki Masa Adven.
Di era digital ini, saya pribadi memohon agar saya dan yang saya layani -terutama anak-anak dan kaum remaja- saling terbuka untuk kemudian mau berjuang bersama. Juga saling mengingatkan.
Agar di era digital ini, kita semua jangan sampai mudah terjerembab jatuh ke dalam jebakan; tidak mudah tergoda untuk berkembang menjadi pribadi yang suka menghidupi spirit star syndrome.
Kita bukan manusia sempurna. Namun bersama Tuhan, kita sedang berjalan menuju Bintang Kesempurnaan Sejati. Dijalani dan dialami melalui proses pembaharuan diri secara terus-menerus.
“Semoga Yesus menjadi Bintang Terang yang terus menerus membimbing langkah-langkah kita dalam hutan belantara kehidupan masa kini dan segera membawa kita ke Tempat Keselamatan tanpa penundaan.”
Surat Padre Pio kepada Benedetto
8 Oktober 1920
Baca juga: Pengalaman “Salah Asuh” Bisa Sebabkan Munculnya Perilaku Star Syndrome (2)