PUJI Martomo, seorang ibu rumah tangga di dusun Semagung, duduk di samping kios bambu dengan dagangan tasbih Rosario. Tasbih buatan sendiri itu dirangkainya dari butiran-butiran kayu atau dari manik-manik dengan berbagai warna. Menggunakan tali nilon atau kawat untuk menyusun manik-manik atau butiran-butiran kayu menjadi sebuah Rosario.
“Bahan Rosario minimal terdiri dari empat jenis, tali nilon, manik-manik, salib dan harces,” demikian ia menjelaskan. “Kalau menggunakan kawat sebagai penyambung butiran, perlu tang khusus yang meruncing pada kedua ujungnya,” imbuhnya.
Mengharap kasih Maria
Hasil kerja tangan itu dipajang dalam kios kecil berukuran dua meter kali satu meter. Berbagai ukuran dan warna Rosario berderet tergantung pada tali-tali yang diikatkan pada paku-paku; Rosario besar, sedang dan kecil. Ada juga yang berbentuk gelang, jumlah butirannya 10 buah, dapat dikenakan pada lengan sebagai gelang.
Terdapat pula Rosario untuk hiasan dinding dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran Rosario biasa.
Ada sekitar 10 kios berjajar di tepi sebelah kiri jalan sedikit menanjak setelah pintu gerbang lokasi ziarah sebelah utara. Dari tempat ini, peziarah masih harus berjalan kurang lebih dua ratusan meter lagi untuk sampai di Gua Maria Sendangsono.
Ketika ditanya apakah setiap hari ada yang membeli Rosario, Sumiati pemilik kios di sebelahnya mengatakan: ”Kula niki ngalap berkah saking Kanjeng Ibu Sendang.”
Maksudnya adalah selalu mengharapkan kemurahan dan berkah Ibu Maria di Sendangsono.
Sambil menunggu kios dan menawarkan Rosario atau lilin kepada “tamu Ibu Maria” -begitu biasanya warga asli dusun ini menyebut “peziarah” yang datang- mereka merangkai butir-butir bulat menjadi Rosario.
“Satu hari saya bisa membuat kurang lebih 10 buah rosario, ujar Prihatin, pemilik salah satu kios. “Itu pun kalau tidak diselingi pekerjaan lain, karena kami membuat Rosario saat senggang, setelah pekerjaan rumah selesai atau setelah pulang dari huma, tegalan,” lanjutnya.
Mbok Tani
“Mbok Tani” demikian perempuan-perempuan paruh baya, penduduk Dusun Semagung, Kecamatan Kalibawang, Jogjakarta tempo dulu suka menyebut dirinya. Mereka bercocok tanam, menanam ubi kayu, jagung dan empon-empon seperti jahe, kunyit, temulawak, pala.
Sampai saat ini cocok tanam masih dilakukan secara tradisional oleh pria atau perempaun yang menetap di dusun ini. Tanah diolah dengan cara manual, dicangkul, dibuat lubang tanam dan diisi pupuk, setelah diisi pupuk kandang, lubang-lubang tanam kemudian ditutup lagi dengan tanah, menunggu hujan turun yang menjadi tanda saatnya musim tanam.
Waktu itulah petani mulai menanam lahan yang sebelumnya telah disiapkan.
Cara tradisional ini cocok untuk tanah pegunungan di dusun ini; berbukit-bukit, jalan setapak dan hanya dapat dilalui dengan jalan kaki. Di lereng-lereng bukit yang telah dibuat kotakan (bedengan) bertingkat sesuai kontur tanah itu penduduk bercocok tanam.
Berangkat pagi–pagi sekali sambil menjinjing pupuk kandang dalam karung atau keranjang dan kembali ke rumah menjelang tengah hari membawa makanan ternak atau hasil bumi. Rata-rata setiap keluarga memelihara beberapa ternak jenis sapi atau kambing.
“Ternak ini diperlukan, terutama dimanfaatkan pupuk kandangnya sebagai penyubur tanah,” demikian Timoteus Warsito, pensiunan guru SMP dan sekarang menekuni cocok tanam dengan menanam pohon mahoni, jati dan sengon.
Menanam kayu di tegalan menjadi pilihan penduduk Dusun Semagung, karena hasil dari berkebun kayu lebih dapat diharapkan dibandingkan dengan harga ubi kayu, meskipun waktu menunggunya lebih lama.
“Pembeli kayu datang ke lokasi, petani tidak pelu repot,” sambungnya.
Generasi muda rata-rata tidak tinggal di dusun ini lagi, karena bekerja atau meneruskan pendidikannya di kota.
Seperti keluarga ini, rumah miliknya yang dianggap cukup besar hanya berpenghuni dua orang; Timotheus Warsito dan isterinya. Ketiga puteranya tinggal di kota lain. Dua anaknya telah berkeluarga, dan satu puteranya menjadi imam.
Rumah yang terletak di bagian selatan Gua Maria itu sering digunakan untuk pertemuan kelompok ibu-ibu lingkungan, atau ibu–ibu wilayah.
Menjaga kebersihan lingkungan
Tempat ziarah pertama di Indonesia adalah Gua Maria Sendang Sono. Ini berlokai di Dusun Semagung, Kabupaten Kulon Progo ini dan tersembunyi di lembah Pegunungan Menoreh, kurang lebih 35 km sebelah barat Jogjakarta. Tempat ini diberkati menjadi tempat peziarahan oleh Romo van Kalken SJ pada tanggal 8 Desember 1929.
Romo YB. Mangunwijaya membuat tempat ini menjadi indah, sejuk dengan bangunan-bangunannya yang unik, dan memperoleh penghargaan dari Agha Khan Award pada tahun 1991, dengan kategori bangunan untuk tujuan khusus.
Pada bulan Mei dan bulan Oktober dan hari-hari libur nasional, seperti hari libur akhir tahun ajaran, banyak peziarah mengunjungi tempat ini.
Warga setempat memperoleh dampak positif, bukan saja pada meningkatnya ekonomi seperti tersedianya lapangan kerja baru dengan munculnya home industry seperti usaha membuat Rosario, mengolah empon–empon, mengeringkan temulawak, jahe, kunyit , juga membuat slondok – jenis makanan yang dibuat dari ubi kayu, meski masih dikerjakan secara kecil-kecilan.
Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa daerah yang tersembunyi itu menjadi terbuka dengan informasi baru dan perkembangan zaman dengan terbukanya akses melalui media elektronik dan para tamu yang datang. Selain itu, warga setempat secara sukarela terdorong turut bertanggungjawab menjaga keasrian dan ketenangan tempat yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah, bahkan juga dari kota-kota besar.
Mereka mengambil bagian sesuai kemampuannya untuk memelihara tempat “bersejarah” dan tempat para peziarah mengharapkan perlindungan Ibu Maria. “Membersihkan kapel setiap hari Senin Kliwon, pada bulan Mei dan Oktober – bulan dengan tamu banyak – mencuci pakaian misa setiap Minggu”, demikian Tony Warsito, wakil ketua Lingkungan Semagung memberi penjelasan.
Saling mendukung
Untuk menyatukan langkah kerja bersama itu pulalah para ibu Lingkungan Semagung berkumpul setiap slapan sekali; warga Lingkungan Semagung menyebut slapanan; masyarakat Jawa pedesaan sampai sekarang masih menggunakan hari pasaran untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti buka pasar di lokasi–lokasi tertentu, hajatan dan hal-hal lain.
Pasaran adalah nama dan jumlah hari menurut perhitungan budaya masyarakat Jawa; jumlah harinya ada 5 (lima): Pon, Wagé, Kliwon, Legi dan Paing.
Masyarakat Jawa mendasarkan hitungan hari yang berjumlah tujuh dengan hari pasaran yang berjumlah lima. Misalnya Senin Pon, Selasa Wagé, Rabu Kliwon, dan seterusnya. Dari Senin Pon sampai ke Senin Pon berikutnya disebut slapan (35 hari).
Senin Pon tanggal 23 April 2018 ibu-ibu Lingkungan Semagung berkumpul untuk rembugan; “tukar pendapat” tentang masalah–masalah kehidupan dan hidup menggereja.
“Kami membicarakan hal–hal biasa dan sederhana,” kata Tony Warsito yang pada pertemuan itu rumahnya ditempati untuk berkumpul.
Mereka bicara tentang kebersihan lingkungan rumah masing-masing, sebab kadang–kadang ada tamu yang mencari penginapan. “Kalau rumahnya tertata, dan bersih, tamu senang dan kita tidak malu,” imbuhnya.
Pertemuan dilaksanakan pada siang menjelang sore, agar tidak mengganggu perkerjaan rutin para ibu mencari makan ternak, memanen hasil lading atau pekerjaan pekerjaan rumah tangga harian.
Pertemuan yang dimulai pukul 14.30 tidak memakan waktu lama; kurang lebih satu jam selesai. Pemaparan rencana kerja, iuran sukarela untuk kas kelompok atau simpanan/ tabungan. “Dengan berkumpul kita saling dikuatkan,” terangnya pula.
Tony Warsito mengatakan, selain berkumpul setiap slapanan ini, di lingkungannya ada Doa Rosario bersama setiap Senin malam dengan tempat bergiliran. Kegiatan Doa Rosario bersama Lingkungan Semagung terbagi dalam enamkelompok. Setiap kelompok terdiri dari delapan keluarga.
Pertemuan hari itu ditutup dengan menyanyikan bersama lagu Ndhérèk Dewi Maria.
Sendang Sono, 24 April 2018.