HARI-hari panjang meja makan orang Indonesia nyaris selalu tersedia tahu-tempe. Namun, hari-hari terakhir ini justru menu paling sederhana namun sangat menyehatkan ini justru telah hilang dari los tukang sayur di pasar-pasar tradisional.
Menjadi barang langka
Kalau tahu-tempe mulai hilang di pasar tradisional dan mas-mbak penjual tukang sayur keliling tak menjualnya lagi, maka pastilah tahu-tempe juga tidak akan muncul di meja makan rumah kita. Di warteg pun, orang mulai kebingungan mencari tahu-tempe. Kalau tahu-tempe telah menghilang, sudah barang tentu pelanggan warteg pun ikut nangis karena justru dengan kedua menu paling sehat inilah uang mereka bisa ‘berjodoh’.
Tak jelas, mulai sejak kapan tahu-tempe menjadi raja di meja makan rumah kita. Juga menjadi menu terfavorit orang, ketika duduk jajan makan di warteg. Namun menjadi jelas bagi kita semua mengapa hari-hari ini tahu-tempe tiba-tiba menjadi barang sangat langka di pasar dan apalagi di meja makan rumah kita.
Tahu-tempe menghilang lantaran harga kedelai –bahan baku utama membuat tahu-tempe– dalam sepekan terakhir ini telah meroket tajam tanpa kendali. Dari yang biasanya dipatok dengan kisaran harga 4-5 ribu rupiah per kg-nya, tiba-tiba saja kedelai meroket naik bebas hambatan pada harga 8 ribu per kg-nya.
Serba dilematis
Sudah barang tentu, para produsen tahu-tempe kelas rumahan jadi tak terkutik. Mau menaikkan harga jual? Tak mungkinlah, karena pedagang di pasar juga tak mau beli karena nanti para penggemar tahu-tempe akan berteriak protes. Nekad jualan sudah pastilah akan merugi karena tidak akan laku di pasaran.
Kalau 20 biji tahu kencongan berwarna sedikit coklat muda itu biasanya bila dibeli dengan harga Rp 6.000, maka dengan harga kedelai di atas 8 ribu, sudah pasti pedagang di pasar tradisional akan mengerek harga jauh lebih tinggi di atas harga ‘lumrah’ yakni Rp 6 ribu.
Siapa yang susah? Ya kita semua. Tak hanya para produsen tahu-tempe kelas rumahan yang kini tak bisa memroduksi menu favorit dengan cap khusus paling sehat dan paling murah ini. Melainkan juga para pedagang di aneka pasar tradisional, mas-mbak tukang sayur keliling kampung, dan tak ketinggalan juga warteg.
Ujung-ujungnya, siapa pun yang biasa mengonsumsi tahu-tempe hanya bisa gigit jari. Maka orang Indonesia akhirnya ya harus ‘puasa’ makan tahu-tempe saking tak terkendalinya harga bahan baku kedua menu favorit orang Indonesia ini.
Tunjuk jari
Pemerintah RI hanya bisa menuding, pangkal penyebab gegeran langkanya tahu-tempe ini karena efek domino rendahnya tingkat produksi kedeleai impor dari Amerika. Konon –kata para pejabat Indonesia sebagaimana juga dilansir oleh jubir Istana Julian Aldrin Pasha—kekeringan panjang menjadi penyebab anjloknya tingkat volume produksi kedelai di AS sana.
Baru ketika para pengrajin tahu-tempe di berbagai daerah menyatakan tegas akan mogok produksi, pemerintah pun mulai terkesiap kaget. Ternyata persoalan tahu-tempe bukalah sebuah isu enteng yang bisa diacuhkan. Selain menyangkut hajat hidup banyak, persoalan tahu-tempe juga merembet ke persoalan lebih fundamental: sejauh mana Indonesia ini punya daya ketahanan pangan? (Bersambung)
Artikel terkait: Meja Makan tanpa Tahu Tempe: Masih Bisa Berbangga Diri? (2)
Photo credit: Keluarga pengrajin tahu tradisional di Singkawang, Kalimantan Barat (Mathias Hariyadi)