Home BERITA Membudibahasakan Medsos, Songsong Pilkada 2018 dan Pilpres 2019

Membudibahasakan Medsos, Songsong Pilkada 2018 dan Pilpres 2019

0
Ilustrasi by ibitimes

DULU, ketika belum ada media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path,  WA, Line, dan web, arah komunikasi  biasanya terjadi dari atas ke bawah: dari elite politik ke  masyarakat. Akibatnya, suara rakyat cenderung tanpa daya, ketika berhadapan dengan pemerintah tiran.

Tetapi, kini arah komunikasi  arus balik telah terjadi.  Melalui media sosial, suara rakyat bergaung  bisa ikut mengkomunikasikan pesan rakyat (dari bawah ke atas).

Problemnya, kini banyak muncul informasi bohong (hoax). Ini datang dari sebagian masyarakat yang disusupi kepentingan elite politik dan sesekali juga dari dunia hitam. Jika hoax  (bahasa tanpa budi) itu tidak dikritisi atau dibiarkan saja, maka tiran pembuat kabar bohong bisa merebut kekuasaan negara.

Hal itu membahayakan keutuhan negara. Agar negara tetap kokoh, masyarakat harus ikut memberikan suara kritis melawan informasi bohong dalam media sosial.

Masyarakat wajib melawannya dengan  budi bahasa. 

Ciri medsos

Ada 10 sesi program seminar Ajaran Sosial Gereja oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA)  setiap hari Jumat sejak tanggal 13 April 2018 di Jakarta. Sesi pertama menghadirkan Margareta Astaman sebagai nara sumber dengan topik “Peran Media Sosial dalam Politik.”

Margareta Astaman menguraikan ciri-ciri media sosial antara lain:

  • Terjadi arus balik komunikasi dari bawah ke atas.
  • Suara setiap orang (warga negara) kini punya saluran sangat strategis, karena dapat jadi viral, bergaung luas, serentak, dan seketika. Misalnya, #ThePowerOfSet menjadi viral.
  • Suara masyarakat menjadi gerakan sosial. Atau, elite politik tidak dapat tidak harus menyeret paksa Setnov ke pengadilan.
  • Masyarakat yang dulu punya daya suara lirih, kini melalui instrumen smartphone bergaung menghembuskan perlunya para koruptor dibawa ke pengadilan.
  • 66% penguna sosmed berpartisipasi dalam diskusi politik (Pew Reseach, 2016). 

Problem medsos

Margareta Astaman juga mengangkat problem medsos antara lain hoax merajalela, informasi keliru dominan dan  pesan yang dangkal dan sensasional.

Hal ini dimungkinkan karena 92,4% hoax dari medsos, 62,8% saluran hoax melalui WA, Line.

Hoax yang dibiarkan bisa mempengaruhi opini publik. Kalau Anda pasif atau bagian dari  silent majority berarti Anda ikut opini publik yang keliru semakin membesar.

Margareta menunjukkan hasil penelitian bahwa jika Anda ikut merespon secara kritis atau membudibahasakan sosmed, maka opini publik yang keliru yang sudah jadi besar ternyata jadi menyusut.  Setiap kita ikut merespon secara kritis atau melakukan konter atas hoax, karena hoax sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu yang didanai, sehingga bisa menghasilkan multimedia by design,seperti: film, desain visual, sampai opini tanpa budi bahasa.

Produksi hoax telah menjadi industri hasil rekayasa elite politik dunia hitam untuk melawan demokrasi agar jadi viral.

Akankah melalui sarana media sosial politik penistaan agama  akan menjadi strategi  perebutan kekuasaan pada pesta demokrasi 2018 & 2019?

Strategi hoax yang mendesain ujaran kebencian sebagai kampanye untuk merebut kekuasaan telah terbukti sukses pada pesta demokrasi di India kontemporer (Cherian George, 2017: Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi  Demokrasi).

Tetapi,  pengaruh hoax yang jadi viral akan menyusut ketika setiap kita melakukan konter hoax. Demikian menurut hasil penelitian Universtitas Columbia di twittersphere.

Magareta Astaman juga menunjukkan bahwa adanya polarisasi jejaring socmend antara anak baik dengan anak nakal. Dua jejaring itu tidak saling koneksi, karena kita cenderung hanya semata memilih informasi yang sama dengan yang kita suka, atau persepsikan, dan kita tidak memilih informasi yang tidak kita suka, atau yang menentang persepsi kita.

Kiranya, baik kita juga masuk kedalam jejaring sosmed yang berbeda, agar ikut mempengaruhi sehingga hoax dalam  jejaring mengerut dan semakin melupakan hoax yang sengajar disebarluaskan.  

Tiga agenda

Akhirnya, yang penting untuk dilakukan adalah sebagai berikut.

  • Kita harus mengkonter hoax  atau berbudi bahasa dengan selalu mengasah daya kritis kita  dan budi.
  • Ikut membudi bahasakan sosmed dengan mendukung tokoh profesional seperti agamawan, budayawan, jurnalis yang justru jauh jadi pesohor di jejaring sosmed.  Ini penting karena tokoh-tokoh yang kurang profesional di bidangnya dan rendah budi bahasanya malah lebih tersohor dan viral di sosmed. Akibatnya, kekuatan negara menjadi kurang sehat, dan sering menimbulkan kegaduhan.
  • Oleh karena itu, viralkan tokoh profesional tersebut dalam jejaring sosial media dan web.  Ini agar di tangan profesional,  keadaban bangsa dan negara  bisa dibangun. Juga rakyat semakin bersatu dalam kebhinnekaan, keutamaan dan modalitas, solidaritas dan subsidiaritas.
  • Ajaran Sosial Gereja dibuat menjadi viral dalam jejaring sosial media,  karena kita proaktif berbudi bahasa, bahkan dengan desain multimedia.
  • Ikutlah masuk dalam jejaring sosial media yang tidak sebenarnya bukan pilihan Anda, atau tidak sama persepsi kita.
  • Kehadiran kita dalam jejaring sosial media,  aplikasi chatting  (WA, Line)  seperti itu akan menyurutkan besaran informasi yang memecah belah bangsa.

Mulai sekarang, anda sebaiknya menggunakan medsos secara strategis.

 

 

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version