SELEPAS meninggalkan imamat, Prayitnya hidup lazimnya seorang bapak keluarga dan punya pendamping hidup. Tahun 2004, bersama istrinya dia tinggal menetap di sebuah rumah di Jl. Supadi, tak jauh dari Gereja Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta.
“Sekali waktu, kira-kira pukul 24 tengah malam, saya dan istri kebangun karena mendengar suara dag-dug-dag-dug sepertinya ada orang bangunan lagi bekerja. Suaranya seperti ketokan tukang kayu sedang membangun rumah,” kata Prayitna membuka cerita lama.
“Dengan sedikit deg-degan kami berdua lalu mencari dan menelusuri dari mana asal sumber suara. Setelah dibingungkan arah datangnya suara, akhirnya kami menemukan sumber asal muasal suara seperti orang ketok-ketok palu itu,” terang Prayitna.
Kamar gelap
Ternyata, sambungnya, suara itu datang dari sebuah ruang gelap di lantai 1 dari sebuah bangunan bertingkat empat yang temboknya berbatasan langsung dengan pekarangan rumahnya.
“Rumah itu sampai waktu itu masih kosong, belum selesai dibangun, menghadap ke arah barat; sedangkan rumah kami menghadap ke utara. Kami yakin benar tak mungkin orang kerja jam segitu pada jam-jam tidur malam seperti itu,” gugat Prayitna. “Lagi pula, ruangan itu juga sangat gelap,” sambungnya lagi.
Akhirnya, bersama istrinya Prayitna duduk berdoa dengan intensi mendoakan semua arwah roh di belakang rumah mereka. “Kami tinggal di rumah sewaan itu sampai anak pertama kami lahir hingga berumur 2 bulan,” kata dia.
“Belakangan kami baru sadar dan mulai menghitung-hitung dan eureka!…. bahwa pada waktu kejadian mendengar suara aneh-aneh itu, malam itu adalah malam ketika anak kami ‘lahir’ mengisi rahim ibunya. Kami sadar, barangkali suara gaduh itu merupakan tanda kegemparan atas hadirnya seorang putri di keluarga kami,” terang Prayitna.
Sebenarnya, tandas dia, setiap orang bisa saja melakukan “komunikasi batin” dengan para roh gentayanga, asalkan disertai niatan baik. (Bersambung)