Renungan Harian
Selasa, 10 Agustus 2021
Pesta St. Laurensius, diakon dan martir
Bacaan I: 2Kor. 9: 6-10
Injil: Yoh. 12: 24-26
“Mbah, kira-kira ada berapa pohon jati yang ditanam?” tanyaku kepada seorang bapak yang sedang membersikan carang-carang pohon jati.
“Wah, berapa ya, simbah gak pernah menghitung. Kalau seratus pohon kira-kira lebih. Termasuk yang masih umur setahun dua tahun ya,” jawab bapak tua itu sembari meminta kofirmasi kepada orang yang membantunya.
“Kapan mbah batang jati ini bisa dipanen dan menghasilkan uang,” tanyaku.
“Wuah lha masih lama sekali, 30 atau 40 tahun lagi,” jawabnya.
“Waduh, masih lama sekali. Saya aja mungkin tidak akan mengalami panen, apalagi simbah? Kenapa simbah tidak menanam jati emas saja katanya lebih cepat panen,” kata saya.
“Begini yang ngger (nak). Sejak awal niat menanam jati bukan untuk panen dan simbah kemudian dapat uang.
Menanam pohon jati ini untuk tinggalan anak, putu dan buyut (cicit). Kalau niat menanam pohon jati untuk segera dipanen dan jadi uang, nanti hasilnya kayu jati yang tidak bagus kualitasnya.
Artinya jati muda. Memang benar namanya kayu jati, tetapi bukan kualitas yang baik. Atau kalau niatnya cepet panen ya tadi seperti apa yang kamu katakan, tanam jati emas atau jabon (jati kebon), itu cepet panen dan jadi uang. Semua tergantung niatnya.
Ngger, orang hidup itu mengenal prinsip tabur tuai. Artinya siapa yang menabur akan menuai.
Namun demikian, kita jangan terjebak dengan prinsip itu. Seolah saya menabur supaya menuai. Ada kalanya dan itu baik, kita itu menabur saja.
Jangan berpikir soal panen. Biarkan orang lain yang memanen.
Maka hendaknya dalam hal ini kita menanam yang baik. Seperti kita menanam kebaikan, jangan pernah berpikir kapan menuai. Karena kalau itu terjadi, maka semua tindak kebaikan kita itu hanya pamrih.
Ngger, seperti menanam pohon jati.
Demikian juga menanam kebaikan dan kasih, jangan berpikir panen.
Semakin tua pohon jati semakin hebat batangnya, walaupun kita tidak bisa ikut memanen.
Demikian pula menanam kebaikan dan kasih, jangan berpikir panen pokoknya menabur saja dengan demikian akan menghasilkan kualitas hidup yang baik,” bapak itu menerangkan “filosofi” menanam pohon jati.
Wow, nasihat yang luar biasa yang kuterima dari bapak itu.
Betul siapa yang menabur akan menuai. Tetapi yang lebih penting adalah kerelaan dan kemurahan untuk menabur bukan untuk berpikir panen.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Ulangan:
“Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit pula. Sebaliknya orang yang menabur banyak akan menuai banyak pula. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
Bagaimana dengan aku? Apakah aku menabur dengan sukacita?