Home BERITA Menanggung Rasa Malu

Menanggung Rasa Malu

0
Ilustrasi: Menanggung rasa malu.

APA gunanya hidup, bila menanggung malu? Apalagi itu karena kesalahan sendiri. Mau di mana muka ini diletakkan? Apa jawab bila orang bertanya? Bagaimana reaksi orang-orang terdekat, keluarga?

Bingung, putus asa bahkan keinginan bunuh diri pun terbesit. Yang jelas, pengalaman salah takkan terlupakan.

Duri dalam batin.

Sebuah pergulatan batin yang mencekam. Tetapi ada suara batin yang menyadarkan.

Itu pula pengalaman rohani yang dapat kita petik dalam bacaan rohani hari ini, Yeh 37: 21-28; Yoh. 11; 45-56.

Saya ingat pergulatan hidup seseorang.

“Saya salah gaul, hamil di luar nikah. Tidak tahu kemana harus curhat. Saya ketemu seseorang yang sudah lama kenal, tetapi belum dekat. Ia pernah berkata ingin dekat dan jadian. Ia tahu saya dari keluarga yang ‘broken home’.

Ayah pemarah kadang mukul, sedang ibu hanya menangis. Tak bisa berbuat apa-apa. Ingin lari dari rumah, tapi ingat bagaimana ibu?

Saya benci ayah, kasar, temperamental, mudah marah dan tangan gampang melayang. Ibu selalu membela, kalau kami tidak salah. Akibatnya, ibu didamprat dan berkata kasar, mengusir”.

“Pacarku terkesan tidak membela siapa pun. Ia lebih menenangkan hati dan mengingatkan ‘tuk berdoa. Ia pun menyatakan cintanya. Suatu saat kami pergi ke tempat saudara. Mungkin karena dekat, merasa aman dan nyaman, ada yang melindungi ‘peristiwa’ itu terjadi.”

“Saya tidak berpikir panjang saat itu. Toh ia telah menyatakan cintanya dan ingin membangun rumah tangga. Rasa senang, percaya dan nyaman membuat ‘peristiwa’ itu terjadi beberapa kali.”

Suatu saat seperti kena petir, saya ‘terlambat’. Tidak berani ke dokter. Rasa takut begitu menyerang, sedih tak tertahan dan malu.”

“Saya dapat membayangkan bagaimana reaksi ayah. Kemarahan  besar tak terelakkan. Apa yang ia lakukan pada mama. Betapa hinanya diri ini.

Saya ingin menggugurkannya. Saya mencoba dengan cara apa pun: loncat-loncat, makan nanas banyak dan usaha-usaha yang lain. Tak berani mengatakan ke dokter. Beli pil yang pernah didengar.”

“Dua bulan berusaha, tak ada hasil. Perut mulai bengkak. Aku beranikan diri mengatakan kepada pasanganku. Pertama kali mendengar uring-uringan dan marah. Aku jadi bingung dan ingin bunuh diri.

Tetapi hati kecil takut melakukannya. Beberapa hari kemudian pasanganku berkata, “Kita jadian saja”.

Dengan alasan bekerja di luar kota. kata-kata aku pun pergi keluar pulau dan bersembunyi di suatu tempat. Kami mengaku diri sebagai suami istri dengan surat palsu.”

Suatu Minggu ketika saya selesai merayakan ekaristi bersama umat, terlihat sepasang keluarga muda, yang putri sedang hamil.

“Orang baru ya? Dari mana? Selamat datang.”

“Dari Jateng, Mo. Akan wawancara untuk pekerjaan baru. Belum  punya tempat tinggal. Baru datang. Tidak tahu mau tinggal di mana.”

“Ya udah tinggalah beberapa hari disini. Ada kamar kosong di samping gereja. Sepertujuan dewan mereka boleh tinggal sampai bekerja dan mendapatkan rumah sewa.”

Pengurus Gereja percaya… Mereka menunjukkan KTP sebagai seorang Kristiani. Akhirnya, bekerja di sebuah perkebunan dan menyewa rumah sederhana dekat lokasi. 

Letaknya dekat dengan Stasi kami, berjarak kira-kira 75 km dari paroki

Setiap minggu dikunjungi, karena melewati bila ber-ekaristi.

Bayi lahir. Kami senang dan menolong. Tapi tiga bulan kemudian mereka menghilang tanpa pamit.

Mungkin kami ketipu. Tapi sudah menolong.

Yehezkiel menghibur kami, “Aku akan melepaskan mereka dari segala penyelewengan mereka, dengan mana mereka berbuat dosa, dan mentahirkan mereka, sehingga mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku menjadi Allahnya”, ay 23b.

Tuhan, di mana pun mereka berada pulihkan mereka; tetap berjalan dalam terang iman. Bdk Yoh. 11: 51. Amin.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version