Tahun 2011 ini adalah tahun istimewa karena di penghujung tahun, publik Indonesia dijadualkan akan mendapatkan suguhan film inspiratif mengenai anak bangsa sekaligus putera gereja bernama Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.
Sedianya film berjudul Romo Kanjeng, dengan perkiraan biaya produksi dan marketing sebesar Rp 12 miliar ini akan rampung dan bisa ditonton pada Natal tahun ini.
Semoga. Itulah doanya. Sebab bangsa Indonesia dan umat katolik di Indonesia harus menunggu lama hingga lebih dari seabad sejak kelahiran Sang Monsinyur pada 25 November 1896 untuk berguru lewat kisah visual mengenai keberaniannya, keteladanan hidupnya serta visinya yang jauh mendahului zamannya.
Filmnya sendiri sudah dipersiapkan oleh Studio Audio Visual-Puskat Yogyakarta sejak 2008. Dengan menggandeng sutradara kawakan Garin Nugroho, film itu dimaksudkan sebagai satu persembahan bagi bangsa Indonesia tentang seorang pahlawan Nasional yang besar kecintaannya pada tradisi, berpihak pada kaum lemah, kuat dalam pembentukan afeksi kecintaan pada bangsa dan Negara Indonesia dan sangat berperan dalam perkembangan Gereja Katolik di Indonesia.
Berbeda dengan dua film sebelumnya yang diproduksi dalam format film dokumenter, ketokohan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ akan disajikan dalam format film cerita. Dipilih format ini karena film cerita memiliki kekuatan untuk memberikan ruang interpretasi yang lebih luas dan dalam bagi penontonnya.
Harapannya, lewat film cerita, nilai-nilai kepahlawanan dan semangat nasionalisme Mgr. Soegijapranata SJ dapat diselami, dirasakan dan pada akhirnya akan dihidupi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama bagi Indonesia yang beragam.
“Film ini akan diisi dengan dialog yang humanis, ketokohan agama menjadi bagian keseharian masyarakat, bukan milik agama tertentu. Inilah waktu yang tepat untuk berbicara tentang keragaman budaya,” tutur Garin Nugroho beberapa waktu yang lalu.
Sutradara film “Daun di Atas Bantal” itu juga berambisi untuk menjawab dahaga publik Indonesia akan ketokohan dan keteladanan dari pemimpin yang mengayomi seluruh elemen bangsa.
“Beliau adalah tokoh nasional pada saat itu yang rela keluar dari kelompoknya, keluar dari partainya, demi memandu bangsa ke semangat multikultural dalam sebuah bangsa,” kata Garin.
Keberanian Romo Kanjeng tercermin dalam konfrontasinya terhadap tentara Jepang manakala Gereja Randusari, Semarang akan disita dan dijadikan markas tentara Jepang:
“Ini adalah tempat suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dulu kepala saya maka tuan baru boleh memakainya.”
Semangat bela-rasanya membuatnya tak tahan melihat derita rakyat manakala pecah pertempuran lima hari di Semarang. Ia mendengar kabar menyedihkan tentang ibu yang beberapa hari tak makan sehingga tak sanggup menyusui anak mereka karena air susu mengering.
Ia mendesak para komandan pasukan dari kedua belah pihak yang hadir di pastoran Gedangan-Semarang, menghentikan pertempuran. Desakan tersebut membuahkan perundingan yang akhirnya muncul kesepakatan gencatan senjata.
Visi politiknya bergaung hingga kini dan menjadi pedoman untuk keterlibatan politik Gereja Katolik di Indonesia dalam semboyan yang masih relevan “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”.
Oleh bangsa ini, Soegijapranata dikenal dan dikenang sebagai pahlawan kemerdekaan seperti dikukuhkan oleh Presiden Sukarno pada 26 Juli 1963. Bagi Gereja Katolik Indonesia, beliau adalah gembala panutan.
Sebagaimana setiap zaman akan selalu membutuhkan pahlawan, demikian juga di zaman ini. Pahlawan adalah makhluk langka, kisah Soegijapranata diharapkan akan menginspirasi lahirnya para Romo Kanjeng baru.
Damar Harsanto
Diolah dari berbagai sumber
Situs resmi film: www.romokanjengthemovie.com