Sabtu, 8 Maret 2025
Yes. 58:9b-14.
Mzm. 86:1-2,3-4,5-6.
Luk. 5:27-32
KADANG tanpa kita sadari, kita merasa diri benar di hadapan Tuhan.
Kita merasa telah menjalankan ibadah dengan baik, mengikuti perintah Tuhan, dan menjauhi larangan-Nya. Kita berpikir bahwa dengan semua itu, kita pasti lebih dekat dengan Tuhan.
Kadang kita juga disadarkan justru di saat kita merasa diri benar, kita bisa terjebak dalam kesombongan rohani yang menghalangi kita untuk benar-benar mendekat kepada Tuhan.
Ketika kita merasa diri benar, kita cenderung menilai orang lain dengan standar kita sendiri. Kita mudah menghakimi dan merasa lebih baik daripada mereka yang kita anggap belum mencapai tingkat spiritual yang sama.
Kita lupa bahwa hanya Tuhan yang berhak menilai, dan bahwa setiap orang sedang dalam proses perjalanan rohani masing-masing.
Ketika kita mendekat kepada Tuhan bukan tentang merasa diri benar, tetapi tentang menyadari betapa kita selalu membutuhkan kasih karunia-Nya.
Semakin kita rendah hati dan mengakui kelemahan kita, semakin Tuhan membentuk kita untuk semakin serupa dengan-Nya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat bersungut-sungut kepada murid-murid Yesus, katanya: “Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”
Lalu jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit;
Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”
Orang Farisi menganggap diri mereka benar karena ketaatan mereka pada hukum. Mereka lupa bahwa setiap manusia, tanpa terkecuali, membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan.
Sebaliknya, pemungut cukai dan orang berdosa yang datang kepada Yesus menyadari keterbatasan dan kesalahan mereka. Kesadaran akan dosa adalah langkah pertama menuju pertobatan dan keselamatan.
Yesus tidak datang hanya untuk orang-orang yang dianggap suci oleh dunia, tetapi bagi siapa saja yang mau bertobat dan menerima kasih-Nya.
Tuhan tidak menjauhi orang berdosa, tetapi justru merangkul mereka dengan belas kasih, membimbing mereka menuju kehidupan yang baru.
Mestinya kita menghindarkan diri dari sikap merasa lebih baik daripada orang lain, tetapi dengan rendah hati kita berusaha membawa kasih dan pengharapan kepada mereka yang membutuhkan.
Sebab Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang, termasuk kita semua.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku dengan rendah hati mengakui kesalahan dan kembali kepada Tuhan?