MINGGU BIASA 2, B; 15 Januari 2012
1Sam. 3:3b-10.19; 1Kor. 6:13c-15a.17-20; Yoh. 1:35-42
Proses ini terjadi pada setiap dari kita yang percaya kepadaNya. Kita mengikuti Yesus bukan karena pertemuan pribadi dengan Dia. Kita mendengar atau mengenal Dia dari orang lain. Dari orang tua, untuk yang baptis bayi. Dari teman, guru, suster, pastor, pacar, suami/istri bagi yang baptis dewasa. Lalu kita tinggal bersama Yesus, mengalami Dia hadir dalam berbagai peristiwa hidup kita. Iman, kepercayaan kita semakin tumbuh, kita percaya dan menyerahkan diri kita kepadaNya. Kita suka bicara tentang Dia kepada orang-orang lain. Dan akhirnya hubungan kita dengan Dia semakin akrab. Kita menjadi orang kesayanganNya yang punya hubungan khusus, bahkan sampai punya nama kesayangan. Ini gambaran ideal pertumbuhan iman kita. Apakah kita memang tumbuh sampai begitu?
Banyak orang mencapai tahap II dalam pertumbuhan imannya. Diperkenalkan kepada Yesus dan tinggal bersamaNya. Mereka percaya, juga mau kontak dan bertemu dengan Dia. Mau berdoa dan beribadat. Tetapi cukup sampai disitu. Yang penting percaya kepada Tuhan. Tidak usah fanatik. Jadi orang baik saja sudah cukup. Itu alasan-alasan yang biasanya dipakai. Iman mereka baru sampai tingkat iman ikut-ikutan, iman sosiologis. Iman = beragama = beribadat. Tapi iman baru sampai pada masyarakat, pada suami/istri. Kalau orang sekampung ke gereja, saya ikut. Kalau pasangan ke gereja, saya ikut. Tanpa dukungan kampung, suami/istri, ibadat juga tidak penting. Hubungan dengan Tuhan pada tingkat ini: apa untungnya punya Tuhan dalam hidup ini? Apa arti Tuhan untuk saya. Kalau untung, pergi ke gereja. Kalau tidak, setahun sekali/dua kali cukup; atau kalau sempat dan mau, baru pergi. Kalau Tuhan hanya dilihat manfaatnya saja, maka biasanya hidup harian dan iman tidak ada hubungannya. Hidup sehari-hari berjalan menurut prinsip-prinsip dunia. Kalau ada kesulitan, baru cari Tuhan.
Ada orang yang sudah lebih percaya kepada Tuhan. Mereka yakin bahwa Tuhan Yesus adalah penyelamat pribadinya. Orang-orang ini adalah pelaku ibadat dan pengamat aturan yang setia. Mereka tertib dalam ibadat dan tekun mematuhi aturan-aturan. Karena bagi mereka, Tuhan baik kalau saya baik. Jadi seimbang, ada timbal balik antara saya dengan Tuhan. Orang-orang ini tidak merasa perlu bersaksi. Paling-paling menegur kalau orang lain tidak patuh atau tertib dalam aturan dan ibadat. Hidup mereka ditentukan oleh seberapa jauh mereka dapat memenuhi kewajiban mereka. Kalau beres, hidup tenang dan senang. Kalau tidak, maka ada rasa bersalah.
Yang lebih maju, adalah orang yang bersemangat mengikuti Yesus. Percaya berarti bekerja untuk Yesus. Hidupnya diwarnai oleh semangat berbuat sesuatu untuk Yesus. Orang ini berbahagia karena boleh berbuat sesuatu untuk Yesus. Hidup menjadi berarti kalau menemukan dia melakukan kehendak Tuhan. Tetapi juga menjadi terpuruk kalau menemukan dia tidak berhasil dalam usahanya melayani Tuhan Yesus.
Yang terakhir adalah orang yang punya hubungan pribadi, khusus dan akrab dengan Yesus. Ciri orang ini adalah bahagia dalam segala tindakannya. Berdoa karena ia suka bertemu Yesus. Bekerja penuh sukacita. Berbeda dengan tipe-tipe sebelumnya, ia tidak berpusat pada dirinya sendiri, tetapi berpusat pada Yesus yang mengasihi Dia. Kebahagiaan dan kesusahannya ada dalam kedekatan dan rasa jauh dengan Yesus. Orang ini bukan manusia super, ia tetap punya kelemahan dan dosa. Ia sangat peka akan kelemahan dan dosanya sebagai kurang cinta kepada Tuhan, bukan sekedar melanggar aturan. Oorang-orang ini tidak harus pastor, suster atau bruder. Tetapi orang yang mendapat kurnia untuk menjadi dekat dengan Tuhan dan juga harus berjuang banyak dengan keringat dan air mata untuk memelihara kedekatannya dengan Tuhan Yesus.
Jessica tahu, dia harusnya tidak hadir dalam pesta itu. Tapi hal itu bukan salahnya – atau bukan salahnya sepenuhnya. Dia mau nonton di bioskop, seperti janjinya kepada mamanya wakti dia dan Katrin minta ijin. Mereka bertemu beberapa teman yang mengajak mereka ikut pesta ‘sebagai orang dewasa’. “Ayo!”, kata Jessica kepada Katrin. “Sata selalu ingin pergi ke pesta seperti ini.” Dia heran, begitu mudah dusta itu keluar dari mulutnya. Atas sesakan Jessica, mereka pergi mengikuti teman-teman mereka ke gudang kosong. Dan pesta sedang berlangsung meriah. Kemudian, ketika jelas bahwa dia akan terlambat pulang, dia menelpon mamanya. “Ma, Katrin dan saya mau makan dulu habis nonton. Kami ketemu teman dan akan pulang telat. OK. Filmnya bagus. Mama harus nonton juga. OK, ma. Sampai nanti, bye.” Ini cuma bohong kecil yang tidak merugikan siapa-siapa, bukan? Apa salahnya kalau dia minum sedikit minuman keras untuk pertama kalinya? Dia tidak suka rasanya, tapi dusta di senyumannya menyatakan dia suka. Apa salahnya, dansa dengan cowo ganteng itu? Dan apa salahnya minum lagi sedikit yang ditawarkan cowok itu? Ketika Jessica terbangun besok paginya, masih pusing karena obat yang dituangkan oleh si ganteng itu pada minumannya; Jessica sadar bahwa bohong-bohongnya telah melukai lebih dari yang dia bayangkan. Dia belajar lewat jalan yang keras bahwa dusta adalah anak tangga yang hanya mengarah ke satu tempat: kebawah. Dia bohong kepada teman-temannya. Dia bohong kepada orang tuanya. Dia kehilangan kepercayaan orang tua dan teman-temannya dan dia kehilangan kesuciannya pada orang yang tak pernah akan dilihatnya lagi.
Yesus menerangkan bahwa Iblis adalah bapak kebohongan. Caranya sangat licik. Kalau dia dapat membujuk kita untuk bohong kecil hari ini; maka besok dia dapat mengajak kita turun selangkah lagi dengan bohong yang lebih besar. Sebelum kita sadar, kita sudah jatuh di tempat yang tidak pernah kita inginkan dan Iblis tertawa senang. Jadi, jangan pegang tangan Iblis dan mulai menuruni tangga itu. Lari lah ke Yesus, pegang tanganNya dan beranilah berkata jujur.[1]
Para murid pertama mulai mengenal Yesus dan hidup mereka bertumbuh. Kita yang berkumpul disini, juga sudah mengenal Yesus. Tetapi Iblis tidak akan membiarkan kita terus tumbuh. Dia akan menyeret kita turun lagi. Dari ciri-ciri pertumbuhan iman yang sudah disebutkan tadi, kita ada dimana? Mungkin kita perlu mendengar dan merenungkan ulang pertanyaan Yesus kepada kedua murid: APA YANG KAMU CARI? Kita mencari kepentingan kita, keamanan kita, harga diri kita atau kita mencari Dia yang mengasihi kita? mari kita mohon kurnia agar kita dapat tumbuh semakin dekat dan semakin mencintai Dia. AMIN.