Minggu, 28 Februari 2021
Bacaan I:, Kej 22:1-2.9a.10-13.15-18
Bacaan II: Rom 8:31b-34
Injil: Mrk 9:2-10
SUNYI, tanpa signal, tanpa tv, bahkan tidak ada listrik, itulah suasana di pedalaman.
Awalnya suasana sepi, sunyi seperti ini menjadi salah satu kecemasan ketika mau kunjungan ke pedalaman.
Ada pikiran yang begitu rasional. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan keluarga, komunitas, jika dua atau tiga pekan kunjungan tanpa bisa dihubungi atau kontak dengan dunia luar?
Namun setelah dijalani justru kesunyian seringkali menampilkan berkat yang selama ini terkubur oleh hiruk pikuk, keramian hidup sehari-hari.
Kesunyian mengajak kita ‘melambat’ tenang dan menikmati setiap waktu tanpa diburu-buru oleh kesibukan yang tanpa sengaja kita hadirkan sendiri.
Kesunyian itu membahagiakan, karena memberi kesempatan duduk dengan umat tanpa diganggu oleh pikiran ke gadget.
Kesunyian itu memberi kegembiraan, ketika mendengarkan cerita lucu anak-anak yang habis pulang dari sungai.
Kesunyian itu memberi jalan untuk menaruh pikiran, perasaan, pada umat yang terbaring sakit di ranjang yang reyot.
Dalam kesunyian kita dituntun untuk melihat dengan hati bahkan sesuatu yang akan terjadi. Seperti Petrus, Yakobus dan Yohanes yang diajak naik ke gunung yang tinggi dan sunyi untuk melihat peristiwa transfigurasi.
“Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.”
Dalam kesunyian itu para murid takjub dan melihat sesuatu yang luar biasa. Mereka dengan batin yang tenang; memandang perjumpaan Yesus dengan Elia dan Musa.
Dalam kesunyian itu mereka mendegar suara, “Inilah Anak yang terkasih, dengarkanlah Dia!”
Suara Allah yang mungkin tidak pernah mereka perhatikan dalam keramian, dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, dan kini mereka diajak untuk menaruh hati, pikiran dan perasaan pada Dia yang sangat dikasihi oleh Allah.
Kapan kita punya waktu hening, untuk mendengarkan dan memperhatikan suara Allah?