Home BERITA Mendidik Anak, Kuncinya di Sekolah dan Keluarga (1)

Mendidik Anak, Kuncinya di Sekolah dan Keluarga (1)

0

SAYA guru matematika di sebuah sekolah swasta katolik di Jatim dan menekuni pekerjaan ini sejak duduk di akhir semester 6. Namun sejak Juli 2008, saya sudah terlibat kegiatan belajar mengajar di sekolah ini. Bermula dari seorang asisten guru hingga sekarang menjadi salah satu pengajar tetap di sekolah tersebut, saya mendapatkan pelajaran berharga dari interaksi saya bersama dengan anak didik saya.

Selama beberapa tahun mengajar, saya menjumpai siswa dengan berbagai  karakter dan latar belakang keluarga berbeda. Sejauh ini, ketika mengajar saya merasa bahwa bukan saja saya yang mengajarkan ilmu kepada mereka tetapi terlebih lagi mereka yang mengajarkan banyak ilmu kepada saya.

Belajar dari murid

Dari anak-anak didik, saya belajar menyikapi suatu permasalahan hingga belajar bagaimana mengambil keputusan. Tak jarang setelah seharian mengajar, pada malam harinya saya berpikir, merenungkan dan merefleksikan apa yang telah saya lakukan di sekolah pada pagi harinya. Apakah keputusan yang saya ambil dalam menyelesaikan persoalan siswa sudah merupakan solusi dari permasalahan? Apakah solusi dari saya sudah merupakan hal yang tepat? Apakah keputusan yang saya ambil tadi cukup bijaksana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi bahan permenungan saya sebelum beristirahat malam.

Ternyata, lebih dari yang saya bayangkan, selain membantu siswa menyelesaikan beberapa persoalan mereka, saya belajar banyak mengenai sisi lain hidup  mereka. Saya melihat dan mendengar sisi lain dari hidup yang mungkin selama ini saya lihat atau dengar dari berita di media. Dari perbincangan dengan siswa, tak jarang saya mendengar berbagai masalah yang mereka hadapi.

Keluarga tak harmonis

Menurut saya persoalan-persoalan tersebut cukup berat untuk usia mereka.  Salah satu masalah yang sering dialami oleh siswa adalah ketidakharmonisan orangtua yang berujung pada ketidakpedulian orangtua terhadap perkembangan pendidikan anaknya.

Salah satu contoh nyata yang saya lihat sendiri adalah ketika orangtua dengan gampangnya menyerahkan persoalan anak-anaknya kepada sekolah. “Itu tanggung jawab sekolah,”, ungkap seorang ibu dari salah satu siswi di tempat saya mengajar.

Bunga –nama murid saya ini– adalah siswi yang pandai. Saya sempat mengajarnya di tahun pertama dia masuk sekolah kami. Ia memiliki kemampuan memahami dengan cepat dalam belajar matematika. Nilai-nilai pelajaran yang lain pun cukup membanggakan. Hanya saja, dia memiliki kekurangan dalam hal bersosialisasi dengan teman-temannya.

Hal tersebut dikarenakan perkembangan psikologi dan mental si Bunga agak terhambat.  Menurut pengamatan saya, sekolah telah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membantu anak tersebut dalam hal bersosialisasi dengan lingkungannya. Namun, tentu sekolah saja tidak cukup, karena pendidikan utama dan pertama ialah keluarga. Waktu yang dihabiskan seorang anak di sekolah hanya sepertiga dari waktu yang ia habiskan di luar sekolah.  Seorang anak tetap memerlukan pendampingan dan pengawasan dari orangtuanya, terutama pada kasus-kasus khusus seperti yang dialami Bunga.

Kurang partisipatif

Contoh lain, kurangnya perhatian orangtua terhadap pendidikan anak terjadi ketika sekolah memanggil beberapa wali murid dari siswa yang tergolong lemah untuk persiapan ujian nasional (UN).  Dari seluruh undangan yang disebar, tidak sampai setengah dari orangtua murid yang memenuhi undangan pihak sekolah. Ketidakpedulian ini merupakan cerminan dari salah satu hal yang harus diwaspadai.

Persoalan mengenai kurangnya perhatian orangtua terhadap pendidikan anaknya bukan hanya menyangkut akademik saja. Sosok dan karakter orangtua, serta latar belakang keluarga begitu mempengaruhi sikap dan nilai-nilai yang dianut seorang siswa.

Betapa saya merasa shocked, ketika menjumpai seorang bapak tiba-tiba marah dan memukul gerbang sekolah serta berteriak-teriak di depan seluruh siswa yang akan berangkat live in. Bapak ini dikenal sebagai pengusaha ternama di kota tempat saya mengajar.

Usut punya usut,  ternyata tidak mengizinkan putrinya mengikuti live in yang diadakan oleh sekolah. Padahal sang ibu telah member izin. Yang sungguh disayangkan adalah sikap atau emosi semacam itu tidak seharusnya dilakukan. Hal ini pula yang membawa dampak buruk terhadap kehidupan sosial putrinya di sekolah, terlebih terhadap prestasi belajarnya. (Bersambung)

Photo credit: Ilustrasi (Mathias Hariyadi)

Artikel terkait:

Mendidik Anak, Kuncinya di Sekolah dan Keluarga (2)

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version