DALAM hidupnya, manusia memerlukan harta. Kekayaan itu mempermudah hidupnya. Orang boleh mengumpulkan dan memilikinya. Namun hidupnya tidak tergantung pada kekayaannya (Lukas 12: 15).
Manusia perlu bijaksana menempatkan dan memanfaatkan harta. Ada bahaya orang terjebak dalam sikap tamak (Lukas 12: 15). Perlu ditegaskan, bahwa harta itu untuk manusia; bukan manusia untuk harta.
Orang tamak itu menderita dua penyakit.
Pertama, tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Dia ingin selalu memiliki lebih banyak (Lukas 12:18).
Kedua, dia mengira bahwa hidupnya bergantung pada yang dimilikinya. Maka dia berkata, “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Lukas 12:19).
Ternyata, semua yang dimiliki itu tidak menjamin bahwa dia bisa menikmati hidup yang dirindukannya, karena Tuhan bisa mencabut nyawanya dan tidak satu pun dari harta itu akan dibawanya (Lukas 12:20).
Dalam arti tegas, nyawa yang dicabut berarti mati. Orang mati tidak membawa hartanya. Dia menghadap Tuhan dalam keadaan miskin. Ada pula makna kiasan, yakni tidak menemukan nilai dan kebahagiaan hidup.
Pengalaman menegaskan bahwa hidup bahagia tidak ditentukan oleh harta. Uang yang banyak diperlukan untuk berobat, tetapi kesehatan tidak bisa dibeli. Keluarga bisa jadi memiliki harta berlimpah-limpah.
Namun kebahagiaan hidup keluarga tidak ditentukan oleh hartanya.
Bukankah harta justru sering menyebabkan pertengkaran dan karenanya menjauhkan orang dari hidup bahagia? Karena itu, orang diajak menjadi kaya; bukan di hadapan manusia, tetapi di hadapan Tuhan (Lukas 12: 21).
Hidup kaya di hadapan Tuhan diperoleh dengan mencintai (Tuhan dan sesama).
Orang yang sungguh mencintai memiliki harta sejati. Hidupnya bahagia. Waktu mati, dia menghadap Tuhan sebagai orang kaya, karena telah menemukan kekayaan sejati.
Senin, 17 Oktober 2022
PW Santo Ignatius dari Antiokia, uskup dan martir