KETIKA memandang Yang Tersalib, saya sering bertanya dalam hati, “Tuhan, apakah Engkau pernah merasakan bahwa aku mencintai-Mu?”
Pertanyaan ini seperti berlawanan arah dengan pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus sampai ketiga kalinya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” (Yohanes 21:15).
Yah, bukannya aku meragukan cinta Tuhanku. Yakin, Dia sangat mencintaiku, apa adanya aku.
Akan tetapi justru sebaliknya, apakah Dia, yang kuikuti secara khusus selama hidupku ini, pernah merasakan bahwa aku sungguh mencintai-Nya?
Tak terasa hari bergulir begitu cepat. Dari menit ke menit. Dari musim yang satu beralih ke musim yang lain, hingga puluhan tahun aku menjadi mempelai-Nya.
Banyak hari-hari yang kulewati begitu saja. Terkadang saya kurang menyadari tentang kasih cinta-Nya. Rahmat berlimpah yang tercurah, tidak selalu saya balas dengan cinta yang tulus.
Tak berubah
Ketika aku jatuh terpuruk dalam dosa, Allahku tidak berubah. Ia tetap sama. Cinta-Nya tak pernah pudar sedikit pun.
Allahku tidak pernah memalingkan wajah-Nya daripadaku. Justru Ia ingin agar aku kembali pada-Nya.
Ah… ada-ada saja cara Tuhan mengingatkan agar jalan-jalanku tetap terarah pada-Nya.
Banyak hal aku belajar dari Sang Guruku itu.
Tentang cinta. Pengampunan. Kerendahan hati. Pengosongan diri.
Entah apa lagi.
Tak mungkin aku sebut satu-persatu. Pelajaran itu kuterima dari Firman-Nya. Dan dari pengalamanku sehari-hari.
Begitu banyak rahmat yang melimpah dalam hidupku. Hari-hari baik, semangat, dan sukacita mewarnai perjalanan hidupku.
Semua menjadi ucapan syukurku. Akankah rasa syukurku dapat berubah ketika suatu saat nanti hari-hari tidak bersahabat menemaniku?
Atau ketika aku jatuh sakit, kecewa dan terluka. Apakah cinta dan rasa percayaku pada Allahku tetap akan sama.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Ayub 2:10, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”