Home BERITA Mengantar Kematian dalam Keterbatasan

Mengantar Kematian dalam Keterbatasan

0
Ilustrasi -- Mengalami kesendirian dan kesepian saat sakit. (Ist)

IMAN menuntun kita, saat-saat hidup tak dapat dimengerti. Iman menerangi jalan kita, membawa kita pada perjumpaan dengan Allah dalam situasi khusus hidup kita.

Dengan iman, kita belajar mempercayakan hidup kepada Allah yang tak pernah ragu akan tindak cinta-Nya pada kita.

Hari Kamis di Pekan Suci, Yesus merayakan pesta perpisahan dalam keharuan Perjamuan Terakhir. Yesus memberikan tubuh-Nya; menyempurnakan pemberian kasih-Nya. Ia melimpahkan rahmat istimewa dan menggemakan panggilan hati untuk saling mengasihi.

“Romo anak saya sakit. Mohon perminyakan suci,” pinta seorang ibu.

“Baik. Di mana rumah ibu?”

Dia memberi tahu alamat rumahnya.

Beberapa orang lingkungan telah datang, saat saya tiba. Anaknya tergeletaklah di atas kasur; di ruang tamu. Badan begitu kurus, mata menatap plafon terus, tak dapat bergerak apa pun. Pergerakan mata pun terbatas.

“Sudah berapa lamakah?”

“Sudah hampir 10 tahun Romo. Ada masalah di usus. Sudah beberapa kali berobat bahkan pengobatan alternatif.”

“Hello Ko,” kataku. “Kita berdoa yuk”.

Menggangguk lemah tanpa suara dengan  matanya menatap plafon.

“Apakah mau pengakuan dosa?”

Hanya tetes airmata yang keluar.  Kuminta yang lain keluar dulu dari ruang tamu.

Aku mencoba mendengar dan memahami. Tidak ada suara.

Matanya bergerak pelan ke arah saya. Kupegang bahunya, kuteguhkan: “Tuhan menyertai dan  sayang Koko.”

Sesaat kulihat matanya memerah; air mata menetes lagi; tak dapat berbicara; sedikit isak tangis yang lemah.

Sejenak saya hanya bisa memandang dan akhirnya mendoakan Doa Tobat; menerimakan Sakramen Minyak Suci dengan sederhana.

“Relakan ya, yang terbaik dari Tuhan.”

Ibunya berkata, “Romo kami rela bila Tuhan memanggil. Kami tidak tega, kasihan. Kadang jengkel juga, putus asa, tidak tahan lagi. Kami menyerahkan anak kami dalam iman”.

Aku pun dapat membayangkan kelelahan merawat, kesedihan, ketidakberdayaan menghadapi situasi.

Selain doa bukankah kepasrahan juga unsur penting.

Saya tak dapat berkata apa-apa. Speechless. Saya pun dapat merasakan kepiluan  keluarga. Tidak ada kata yang tepat melihat pandangannya yang menerawang, kosong.

Badan kurus tergeletak tak berdaya.

Di saat-saat itu kesadaran diri muncul. “Siapakah aku ya Allah? Tuhan mengapa dia begitu menderita, tergeletak tak berdaya. Tuhan, tegakah Engkau membiarkannya menderita? Lawatlah dia bila mungkin”.

Saya merasa dan percaya bahwa pernyataan ibunya bukanlah sebuah pernyataan keputusasaan. Tetapi sebuah kerendahan hati.

Keberanian percaya dan mempercayakan kehidupan. Sebuah penyerahan akan campur tangan Allah untuk menyelesaikan hal-hal yang tak dapat diselesaikan.

Sebuah doa kepasrahan, kepercayaan dan harapan akan kasih Allah. Bukankah penderitaan juga dapat menjadi tanda kehadiran Allah dalam keheningan.

Wafat Kristus adalah bukti yang paling jelas akan kesetiaan dan kasih Kristus. Ia adalah jaminan pasti dari Allah yang menyertai tanpa syarat.

Itulah yang kita rayakan; kita imani; kita percayai.

Tertulis di Kitab Keluaran  “Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi Tuhan turun-temurun.”, ay 14a.

Yesus membasuh kaki para murid. Sebuah tindakan penyucian, pemurnian sekaligus perintah saling mengasihi. “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.”, ay 8b.

Tuhan, kasih-Mu memeluk kematian kami;  menganugerahkan penebusan. Amin ???

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version