Home BERITA Mengenang Seminari: Jadi Imam, Jangan Seperti Raja Kecil (3)

Mengenang Seminari: Jadi Imam, Jangan Seperti Raja Kecil (3)

0
Ilustrasi: Tahbisan lima imam dan diakon SCJ di Palembang tanggal 27 Januari 2021. (Komsos KaPal)

AKHIRNYA, kami akan menutup dengan refleksi atas peristiwa tahbisan yang dulu ditulis untuk tahbisan imam konteks sosial hidup Jakarta yaitu Keuskupan Agung Jakarta saat generasi Romo Simon Lily Tjahyadi Pr, Almarhum Romo F. Kuswardianto Pr (Anto) dan Romo Y. Hadi Suryono Pr.

Ini sudah terjadi satu dasawarsa lebih yang lalu. Tapi ingin tetap kami poles untuk tetap mengungkap esensi makna tahbisan.

Menjadi imam masa kini

Merenungi tahbisan mau tidak mau akan membawa kita ke dua sisi dari  satu peristiwa yang penting itu.

Sisi pertama adalah sisi “pesta”. Syukur atas sebuah perjalanan studi imamat. Persiapannya secara formal kini memuncak dan dinyatakan selesai  dan  seorang calon imam dinyatakan siap ditahbiskan oleh Uskup atas nama Gereja dan Tuhan.

Di sisi kedua adalah sisi “batin” atau roh dari perjalanan panggilan. Maka, di sana bertemulah pengalaman kekecilan, ketidakpantasan manusia, ketika menyadari bahwa setelah mengalamai disapa, ditantang, diuji. Lalu, akhirnya “berani” menyatakan “ya” atas panggilan tugas pengabdian atau pelayanan untuk Gereja sebagai iman.

Jadi imam untuk apa?

Di sisi kedua ini kerap bergaung pertanyaan siapakah kita segera setelah tahbisan untuk menjadi pelayan?

Siapakah kita dalam kesadaran akan keterbatasan sebagai manusia untuk bekerja sama dengan anugerah rahmat panggilan Tuhan kita?

Di sini gema pengakuan manusiawi Paulus amat jelas melukiskan dinamika keterbatasan manusiawi, tetapi sekaligus syukur atas rahmat ilahi dalam cuitannya: panggilan adalah seperti “harta melimpah” yang ditaruh dalam bejana tanah liat yang mudah retak.

Lalu renungan kita, apakah harus berhenti di satu terminal sisi yang satu: pestanya gegap gempita dengan nyanyi koor dan tabikan serta peluk salam keluarga dan umat tercinta?

Ilustrasi

Usai pesta tahbisan, maka datanglah sepi

Yang setelah upacara tahbisan selesai, lalu “mendadak” terasa senyap sunyi, sendiri dan kelelahan?

Ataukah harus hanya berhenti pada sisi kedua, sisi “sakral, suci” sebuah perjalanan pengabdian atau pelayanan?

Kiranya jawabanya jelas yaitu dua sisi di atas harus menjadi dua titik renung yang bersama-sama dialami, dihayati dan diprosesi.

Sebab, hanya berhenti di pesta lalu tahbisan hanya akan tampil sebagai upacara belaka. Tetapi hanya menekankan yang kedua, ia juga hanya akan ditangkap sebagai yang “berat, luhur”, tetapi setengah malaikat.

Ketika tahbisan dihayati sebagai terminal pertama proses mengenal, menghayati dan mengiyakan panggilan imamat, maka di sana kita diingatkan bahwa uji pengalaman sapa menyapa antara Tuhan sebagai Guru dan manusia sebagai murid akhirnya membuahkan keberanian untuk kesanggupan menjadi pelayan umat.

  • Bukankah dalam nuansa ini, kita diingatkan oleh Sang Guru bahwa kita tidak usah takut melangkah, lantaran Dia akan menyertai kita sampai akhir zaman?
  • Bukankah riwayat pendidikan imamat kita masing-masing juga mengalami bagaimana Yesus seperti dulu dengan murid-murid Yohanes, Yakobus, dan Petrus memberi cicipan berkah Gunung Tabor manakala menyiapkan mereka agar siap nanti menghadapi salib, sengsara dan tahan bantingan di situ?

Menempatkan yang memanggil yaitu Yesus Kristus dan Sang Penahbis Agung ini dalam wajah Sang Guru, kiranya akan lebih mudah menempatkan seorang imam (sebagai yang ditahbiskan dan murid) untuk berani tiap kali “mau rendah hati belajar terus seumur hidupnya”.

Tidak hanya dengan banyak membaca, peka tanda zaman, mencari tahu sabda Tuhan lewat suara kebutuhan umat, masyarakat ibukota yang dilayani.

Tetapi sekaligus penampilan seorang murid akan menumbuhkan baginya sikap “mau mudah kagum, kreatif mendengarkan dan belajar bisa bahagia“ seperti sikap “anak kecil” yang oleh Yesus ditempatkan di tengah-tengah murid-murid-Nya bahwa si anak inilah yang pantas menjadi warga kerajaan Allah dan pewartanya.

Ilustrasi: Prosesi tahbisan dua imam diosesan Keuskupan Malang, Rabu (26/5/2021)

Raja kecil di paroki

Sikap rendah hati untuk peka kebutuhan, membaca Roh Tuhan dalam tanda-tanda zaman yang dahsyat ini amat diperlukan. Justru karena posisi imam di kebudayaan kita terlalu cepat ditempatkan sebagai posisi “bupati kecil”, raja-raja kecil atau posisi status yang dituakan, didengarkan, dihormati.

Tidakkah keluhan umat ibukota bersumber di sini? Yaitu, manakala imam “lupa” akan panggilan pelayanannya dan berperilaku sebagai petinggi-petinggi yang minta dihormati dan otoriter?

Butuh imam yang rendah hati

Pada titik-titik kritik tajam inilah, saya selalu senang mengambil posisi imamat Musa yang dalam proses belajar menjadi murid yang baik di Gunung Horeb, di hadapan Sang Guru yaitu Allah sendiri, ketika ia ditarik oleh api semak belukar yang bernyala lalu memanggilnya dan di sana terjadi dialog Musa dan Yahwe.

Dialog pengalaman ini “hanya mungkin“ terjadi ketika Musa “melepaskan sandalnya”. Yang  berarti melepaskan ukuran-ukuran pikiran, cara pandang, sikap-sikap kerasnya, sombongnya.

Untuk dengan “kaki telanjang” -simbol keterbukaan- yang rendah hati mau masuk belajar ke bahasa sandal Yahwenya, Allahnya.

Baru ketika Musa mau rendah hati menghadap Yahwe dengan “kaki telanjang” terbuka, di sana Yahwe memperkenalkan diri-Nya, nama-Nya.

Tidakkah tahbisan imamat semestinya diletakkan dalam pigura yang sama?

Artinya, tahbisan bukan “wisuda pangkat gerejani yang memberi status tuan raja pada seorang imam”.

Tetapi titik awal penghayatan pelayan-pelayan umat yang mau terus mendiskresi, menemukan kehendak Sang Guru dalam melayani umat dan masyarakat.

Mungkinkah pelayanan terjadi men-zaman dan menanggapi yang dibutuhkan umat kalau imam tidak mau “rendah hati” seperti Musa di “Gunung Horeb” dunia modern Jakarta dan sekitarnya ini untuk dialog dengan Tuhan lewat jatuh bangun pelayanannya”?

Di sinilah tempat kita meletakkan tantangan jaman figur imam yang tidak hanya diminta menjadi pastor (gembala, pelayan) umat yang baik (“pastor bonus”) tetapi yang mampu menangkap sasmita Tuhan lewat tanda jzaman di ibukota ini.

Ketika Jakarta dengan persoalan krisis acuan nilai pengarah kehidupan religiositas dan kemasyarakatan merebak, apa tanggapan pengolahan imam untuk nilai “sensus catholicus” di ibukota penentu keputusan nasional ini?

Pasca Mendut dan Muntilan, lalu apa?

Dahulu kala, generasi IJ Kasimo ­Soegijopranata atau generasi Muntilan­-Mendut melangsungkan pentradisian nilai “sensus catholicus” atau citarasa, cara kaji, mata iman Katolik dalam hadapi persoalan-persoalan hidup lewat “visi keluarga basis sebagai inti Gereja Katolik Indonesia yang minoritas”.

Maka waktu itu, di sanacalon-calon bapak disiapkan dalam visi van Lith di Asrama Muntilan. Sedangkan, calon-calon ibu di Asrama Mendut oleh para Suster OSF.

Mereka ini adalah soko-soko guru yang jadi pilar-pilar Gereja yang kepada mereka itu lalu diletakkan para guru-guru, para pendidik Katolik yang mumpuni. Pertanyaannya, lalu kelanjutan pentradisian ini sudah bergerak ke mana?

Ilustrasi: Sekolah guru di Muntilan. (Ist)

Generasi pasca Kasimo-­Soegijopranata memakai sekolah-sekolah format Katolik bersama dengan keluarga-keluarga inti di paroki-paroki (lingkungan-lingkungan) sebagai basis pembatinan nilai “sensus catholicus” itu.

Maka figur imam paroki dengan pengendapan kunjungan keluarga-keluarga dan  bina lingkungan intensif -ketika jumlah umat belum membengkak- terasa sekali sebagai wujud pentradisian dan penanaman nilai Katolik itu.

Kemudian, manakala umat membesar dan pastor tidak bisa lagi kunjungan umat, atau mengajar agama di sekolah-sekolah -karena kesibukan pastoral- dilanjutkanlah proses itu oleh sekolah-sekolah Katolik. Dalam kerjasamanya dengan para katekis dan pembinaan lingkungan serta bina iman sebagai basis-basis pendidikan nilai Katolik. 

Lalu di mana imam berada?

Masihkah ia terus sadar melangsungkan proses ini lewat reksa pastoralnya dengan menyiapkan sungguh kotbah misa Mingguan dan misa-misa wilayah?

Masihkah ia mau belajar bahwa umat ibukota yang sudah dielektronisasi lewat media masa kertas, maupun teve dari pagi sampai malam sudah kenyang dengan eksotisme penampilan gebyar teve? Hingga kotbah dan misa hari Minggu ya memang harus disiapkan lebih mendalam, lebih menyapa hati lagi dari sekedar rutin upacara yang mengantukkan?

Tantangan prioritas penempatan diri imam sebagai pelayan baik yang pastoral (gembala) di paroki-paroki amat mendesak. Lantaran kita terbatas dalam kemampuan dan waktu. 

Mau prioritas reksa pastoral lewat penyiapan betul-betul Misa Minggu, kunjungan umat, pentradisian “sensus catholicus” dalam katekese, kegiatan-kegiatan di paroki, lingkungan, wilayah ataukah semuanya dikerjakan tanpa prioritas?

Untunglah sasmita Tuhan selalu lewat dan bicara melalui umat, melalui Dewan Paroki dan krisis-krisis gugatan serta kritik tajam yang muncul. Sehingga tantangan untuk mau belajar lagi, membaca lagi dan membahasakan sabda Tuhan bagi umat ibukota yang kritis, sangat memilih.

Juga tidak segan-segan bereaksi itu benar-benar membutuhkan sikap-sikap “Musa-musa” abad modern untuk belajar seperti di Gunung Horeb dahulu.

Ilustrasi: Dua imam tahbisan anyar untuk Keuskupan Sanggau, Kalbar.

Di sini pula antara dua sisi tahbisan di depan terletak pilihan memahami antara imamat fungsional. 

Artinya, tahbisan sebagai peresmian fungsi imam dalam melayani umat baik pastoral maupun kategorial (lewat dialog nilai dalam profesi, ilmu dan keahlian-keahlian) dan imamat jabatan.

Artinya, peresmian imam selaku pemuka jemaat, wakil uskup di parokinya.

  • Semoga sisi imamat fungsionallah yang lebih bicara dan diberi bahasa pengucapan entah lewat “menjadi pastor yang betul-betul baik” untuk umat hingga menjadi tempat mencairkan krisis atas atau teduh di kala hujan badai menerpa, maupun lewat karya-karya kategorial, tulisan pendapat, renungan teve, buku dan siaran atau pun kesaksian profesional seorang insinyur, dokter, usahawan, wartawan Katolik. Di sini bisakah pastor menjadi jembatan dialog di parokinya untuk yang kategorial dan yang pastoral?
  • Bisakah dialog-dialog di paroki atau di organisasi-organisasi kategorial menjadi ajang yang barangkali kadang fungsinya hanya menjadi “forum” saja atau kadang betul bisa menjadi “rekan dialog” atau fasilisator saja?

Ketika gema lagu indah agung Datanglah Roh Kudus mengiringi penumpangan tangan Uskup, rekan-rekan imamat pada saat tahbisan, di sanalah dua macam perasaan menyendu memadati rongga-rongga nafas imam-imam baru kita.

Satu perasaan lega, syukur, bahagia karena dialog saling kenal antara yang memanggil dan yang dipanggil kini disanggupi untuk “ya” dilaksanakan sebagai pelayan umat.

Satu perasaan lagi adalah perasaan khawatir, apa aku siap, api aku tidak terlalu muda? Demikian ungkatan kata Nabi Yesaya dan Yeremia ketika mengalami yang sama- untuk tugas luhur ini?

Dan perasaan yang memadat dalam rongga nafas manusiawi saat tahbisan lalu nyata menggumpalkan bahwa sumber tahbisan adalah cinta. Oasis seluruh pelayanan imam adalah kasih itu sendiri.

Dari cinta (orangtua, keluarga, umat) ia dipilih, dalam kasih rahmat Tuhan ia dididik, lalu dalam kasih-Nya pula imam diutus untuk melayani.

Imam yang pendoa

Dan pigura untuk menumbuhkan kasih itu adalah doa.

Inilah rahasia seluruh kekuatan panggilan tahbisan bila diuji cobaan, masalah dan tantangan.

Doa adalah saat-saat hening di mana anugerah hidup dari yang sehari-hari biasa, krisis, masalah sampai anugerah agung panggilan diresapi dalam-dalam, dicecap dalam syukur bahwa kita berani tetap mengandalkan kasih Tuhan yang terus menyumberi pembagian, pelayanan, “pemecahan roti” pelayanan imamat ini. 

Krisis doa menjadi tanda lampu merah perjalanan tahbisan selanjutnya.

Bila tahbisan sedikit direnungkan bukan sebagai titik  selesai pendidikan  ormal “sekolah imamat tetapi sebagai terminal pertama untuk proses peziarahan panggilan pelayanan umat, maka di sana pigura doa yang mensyaratkan “pelepasan sandal-sandalku” di depan Allah (karena tempat ini suci, karena tugas ini suci), akan berdentang. Seperti dentang jam waktu yang terus mengusik imam-imam untuk mengaca diri, berefleksi pada perjalanan pelayanannya.

Tidak hanya berhenti sejenak tiap kali ke refleksi pada yang telah dihayati. Tetapi ia akan sedia pula merancang masa depan setelah belajar betul analisis situasi dan soal-soal tempat sasmita Tuhan bergerak bersuara dan minta tanggapan kita. (Selesai)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version