METAVERSE.
Kata ini menjadi istilah trendi saat ini.
Pada pertengahan Januari, Microsoft menyatakan akan membeli ActivisionBlizzard seharga $69 miliar atau sekitar 970 trilyun rupiah.
Akuisisi perusahaan games besar yang memiliki beberapa games terkenal seperti Candy Crush dan World of Warcraft menunjukkan keseriusan Microsoft masuk ke bisnis metaverse.
Tahun lalu, Facebook mengubah namanya menjadi Meta. Ini jelas mengacu pada metaverse. Raksasa bisnis teknologi yang menguasai sebagian besar aplikasi jejaring sosial di dunia dengan jelas mengumumkan metaverse adalah masa depan internet.
Bukan hal baru
Metaverse sebenarnya bukan gagasan baru. Ide ini telah ada selama beberapa dekade.
Realitas virtual, AR (Augmented Reality), teknologi tiga dimensi sudah sejak lama digarap. Hanya sekarang terjadi ledakan minat terhadap metaverse. Hal ini antara lain dipicu dengan maraknya berita investasi besar dari beberapa pemain besar teknologi informasi di dunia ke metaverse.
Apa yang berubah adalah pergeseran pemahaman, keyakinan bahwa internet perlu ditata ulang. Nah, sejauh mana perubahan itu masih tanda tanya. Tetapi efek dan dampak metaverse perlu diantisipasi oleh semua aspek kemasyarakatan termasuk Gereja.
Mengusung topik trendy ini, webinar yang diselenggarakan oleh Kursus Pendidikan Kitab Suci (KPKS) St. Paulus – Tangerang dengan judul “Menggereja di Era Metaverse” berhasil menarik lebih dari 500 peserta.
Tiga tantangan: privasi, kecanduan, monopoli
Romo Antonius Baur Asmoro Pr yang didapuk sebagai narasumber utama memperkenalkan metaverse dari asal istilah dan contoh ilustrasi di beberapa film Hollywood seperti Wall-E, Avatar, Ready Player One, dan Matrix.
Romo Anton Baur yang sekarang mengajar di STF Driyarkara memaparkan tiga tantangan utama terkait internet yaitu masalah privasi, bahaya kecanduan, dan monopoli kehidupan digital.
Lulusan S2 Teologi dari Urbaniana Pontifical University, Roma, Italia ini memberi contoh sederhana bagaimana hidup kita ‘dimata-matai’ di dunia maya. Ketika ia mencari shampoo di suatu marketplace, setelahnya langsung muncul iklan shampoo di laman portal berita yang dia baca.
Gereja dan internet
Untuk menjawab pertanyaan besar ‘bagaimana kehidupan menggereja di era metaverse’ Romo Anton mengajak peserta webinar untuk reflektif melihat dari arti ecclesia/gereja, siapa gereja, siapa kita, dan manusia sebagai citra Allah.
Dokumen Seri Gerejawi No. 111 tentang Gereja dan Internet yang diterjemahkan oleh Romo FX Adisusanto SJ dan dipublikasi oleh Dokpen KWI menulis berikut ini:
“Kita memandang sarana-sarana ini sebagai ‘anugerah-anugerah’ Allah, sesuai rencana Penyelenggaraan Ilahi, dimaksudkan untuk menyatukan manusia dalam ikatan persaudaraan, agar menjadi teman sekerja dalam rencana -rencana penyelamatan-Nya.”
Romo Anton menyakini kalau metaverse adalah gerak Roh Kudus, pasti buahnya akan baik.
![](https://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2022/03/WhatsApp-Image-2022-02-28-at-22.38.39.jpeg)
Paus Yohanes Paulus II melihat manfaat dari internet adalah supaya semua manusia bisa diselamatkan. Sedangkan Paus Fransiskus merefleksikan dunia digital itu sebagai benua ke-6 di dunia.
“Kita bisa menjadi misionaris digital,” demikian ajakan Romo Anton.
Sarana komunikasi sosial seperti dua sisi mata – dapat bermanfaat untuk kebaikan, tetapi juga bisa disalahgunakan untuk eksploitasi, manipulasi, dan korupsi. Maka yang penting adalah bagaimana menjaga komitmen terhadap martabat manusia dan kesejahteraan umum.
Apakah peribadatan di metaverse itu menjamin orang bisa hatinya lurus tertuju ke Tuhan selama ibadat menjadi salah satu tantangan yang perlu disikapi dengan iman dan diselaraskan antara niat dan hati.
Tips melayani di era digital
Menghadapi era virtual yang keniscayaannya pasti ini, Romo Anton mengingatkan agar para jemaat Gereja terutama peserta KPPS mendapat pelatihan profesional supaya bisa menyesuaikan diri.
Tetapi penting bahwa mereka pertama-tama memupuk hubungan pribadi dengan Tuhan dalam doa, Ekaristi, Sakramen dan permenungan sabda Kitab Suci.
Untuk itu, Romo muda KAJ yang ditahbiskan tahun 2013 ini memberikan lima tips melayani di era virtual yaitu:
- Melekat pada sumber.
- Buka mata dan telinga.
- Hadir.
- Mau belajar.
- Luwes.
Metaverse yang tak akan berhenti
Romo BS Mardiatmadja SJ sebagai penanggap mengamini pesan Romo Anton.
Romo Mardi mengatakan Gereja perlu terbuka terus karena membangun Gereja merupakan proses yang berkesinambungan di mana kita tidak tahu ujungnya akan seperti apa.
Romo Mardi, dosen senior STF Driyarkara, mengajak agar Gereja terbuka pada sekian banyak kemungkinan yang masih bisa terjadi.
“Sesuai dengan credo Aku Percaya, maka saya percaya ada masa depan yang akan menawarkan banyak hal. Maka metaverse bukan merupakan titik akhir, tetapi masih akan ada hal-hal lain karena Allah tidak bisa kita perhitungkan”, demikian jelas Romo Jesuit yang terkenal ramah ini.
Metaverse, meta yang tak ada hentinya. Maka siaplah pada kemungkinan-kemungkinan ke depannya.