Selasa, 11 Februari 2025
Mrk 7: 1-13
PERATURAN diciptakan bukan untuk membebani, melainkan untuk menuntun manusia kepada kehidupan yang lebih baik.
Setiap aturan, baik yang bersifat hukum negara, adat istiadat, maupun perintah keagamaan, memiliki tujuan yang luhur: menjaga kesejahteraan, kedamaian, dan kebaikan bagi sesama.
Namun, ada kalanya manusia terjebak dalam formalitas aturan, sehingga kehilangan esensi dari tujuan utamanya.
Dalam kehidupan beriman, peribadatan kepada Allah adalah hal utama Tetapi, Tuhan juga menghendaki kita untuk mengasihi sesama, termasuk orangtua.
Persembahan kepada Allah tidak boleh mengorbankan bakti kepada orangtua, sebab kasih kepada orangtua juga merupakan bentuk ibadah yang sejati.
Sebaliknya, ketaatan kepada tradisi keluarga atau adat tidak boleh membuat kita mengabaikan kehendak Allah. Keseimbangan antara ketaatan kepada Allah dan kasih kepada manusia harus senantiasa dijaga.
Hendaknya kita menerapkan peraturan dengan bijaksana, tidak hanya secara harfiah tetapi juga dengan hati yang penuh kasih.
Jika aturan diterapkan dengan cara yang justru menyakiti atau merugikan manusia, maka kita harus kembali pada tujuan utamanya: kebaikan dan kasih. Sebab, hukum yang paling utama adalah kasih, kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Jawab-Nya kepada mereka: Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik. Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia.”
Yesus dengan tegas menegur orang-orang Farisi dan Ahli Taurat yang lebih mementingkan tradisi lahiriah daripada hubungan yang sungguh-sungguh dengan Allah.
Sering kali, kita tergoda untuk mengukur kesalehan seseorang dari seberapa sering ia pergi ke tempat ibadah, seberapa banyak doa yang ia ucapkan, atau seberapa ketat ia mengikuti aturan agama.
Padahal, yang lebih penting adalah apakah hati kita sungguh dekat dengan Tuhan dan apakah hidup kita mencerminkan kasih dan kebenaran-Nya?
Yesus mengingatkan bahwa ibadah yang sejati bukan hanya tentang perkataan atau ritual, tetapi tentang hati yang benar di hadapan Tuhan.
Perintah Allah harus lebih diutamakan daripada sekadar tradisi atau kebiasaan manusia. Jika peraturan atau adat-istiadat justru menjauhkan kita dari kasih dan kebenaran, maka kita harus berani mengevaluasi dan kembali kepada inti dari iman kita: mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Jangan sampai ibadah kita menjadi sia-sia karena hanya berhenti di bibir, tanpa menyentuh hati.
Tuhan tidak mencari kata-kata indah atau tindakan lahiriah semata, tetapi mencari hati yang benar-benar rindu untuk mengenal dan menaati-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku lebih peduli pada aturan agama secara formal daripada membangun hubungan yang hidup dengan Tuhan?