Renungan Harian
31 Agustus 2021
PW. St. Ignatius Loyola
Bacaan I: 1Kor. 10: 31-11: 1
Injil: Mat. 14: 1-12
SUATU malam dan melalui telepon, seseorang yang mengenal saya lewat renungan harian bertanya:
“Romo, beberapa bulan terakhir ini, saya mengalami kegelisahan hidup yang amat sangat.
Saya sudah berjuang untuk melupakan dan tidak memikirkan, tetapi justru semakin mengganggu.
Setiap malam saya menjadi susah tidur, dan akhir-akhir ini membuat saya semakin malas dalam bekerja dan menjalani hari-hari saya.
Saya selalu diusik dengan pertanyaan “mau apa dengan hidup saya?”.
Romo, saya merasa hidup saya seperti di persimpangan. Sekarang usia saya 25 th, saya sudah selesai MBA di luar dan sekarang sudah kerja menurut saya sudah baik.
Romo, apa yang harus saya lakukan?”
“Mas, setiap orang punya kegelisahannya masing-masing, hanya kadarnya yang berbeda-beda. Saya pasti tidak punya resep yang ampuh untuk mengatasi kegelisahanmu.
Saya mengajak untuk belajar dari St. Ignatius dari Loyola, bagaimana beliau mengatasi kegelisahannya.
St. Ignatius, ketika istirahat untuk penyembuhan kakinya yang kena pecahan meriam saat bertempur mempertahankan Benteng Pamplona, mengalami kegelisahan yang amat besar.
Ia merasa bahwa semua mimpinya untuk menjadi perwira militer yang hebat, menjadi pahlawan yang dikagumi, hancur, karena kakinya tidak bisa disembuhkan dengan sempurna.
Pada awalnya dia memberontak, kesal dan marah, dia berusaha menghilangkan dan melupakan kegelisahannya dengan selalu membayangkan bahwa dirinya akan menjadi perwira hebat, pahlawan yang dikagumi dan mendapatkan seorang puteri idaman.
Pada saat itu dia membaca buku tentang para kudus, khususnya riwayat St. Fransiskus dan St. Dominicus.
Nah setelah membaca itu kegelisahannya bertambah.
Satu pihak ingin menjadi perwira hebat tetapi pihak lain ingin mengikuti Kristus dengan meneladan apa yang dilakukan para kudus. Bergulat dengan kegelisahan itu menghantar dia untuk merasakan dan menerima kegelisahannya.
Ia meneliti perasaannya, apa yang membedakan saat dirinya membayangkan menjadi perwira hebat dan saat membayangkan menjadi peziarah miskin yang hidup meminta-minta seperti St. Fransiskus dan St. Dominikus.
Dengan teliti dia melihat dan mencermati perasaan dan getaran-getaran serta dorongan batin.
Dalam pergulatan itu Ia menemukan bahwa ketika membayangkan, dua-duanya mendatangkan kegembiraan dan gairah yang luar biasa.
Namun saat membayang menjadi perwira kegembiraan dan gairah hidup itu hanya sebentar lalu hilang. Sedang kalau membayang meneladan para kudus kegembiraan dan gairah hidup yang muncul lebih lama bahkan bisa berhari-hari.
Semua itu dia rasakan, dia dalami dan dia teliti terus menerus hingga sampai pada dorongan kuat untuk meninggalkan mimpi menjadi perwira dan meneladan para kudus.
Dorongan yang kuat itu kemudian menjadi keputusannya untuk bertindak dan pada gilirannya menumbuhkan hasrat besar dalam dirinya untuk mengikuti Kristus dengan meneladan Para Kudus.
Mas, jangan melarikan diri dari kegelisahan itu, tetapi sadari kegelisahan itu cara Tuhan untuk menuntun mas agar menemukan tujuan hidup yang lebih baik,” jawab saya.
Banyak orang mengalami kegelisahan yang sering kali menjadi sarana bagaimana Tuhan menuntun saya.
Namun demikian tidak banyak orang yang berani mengolah kegelisahannya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Matius, Herodes digambarkan orang yang gelisah atas pengajaran dan teguran Yohanes Pembaptis, namun dia tidak mau dan tidak mampu mengolah kegelisahannya.
“Inilah Yohanes Pembaptis. Ia sudah bangkit dari antara orang mati dan itulah sebabnya kuasa-kuasa itu bekerja di dalam-Nya.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku mau dan mampu mengolah kegelisahanku?