SEBAGIAN orang menghubungkan kebahagiaan dengan suatu kenikmatan-kenikamatan duniawi seperti harta, tahta dan juga cinta.
Tentu saja, hal ini sangat diinginkan dan diimpikan banyak orang.
Maka, mereka terus mencari kepuasan ini dengan bekerja serta tindakan-tindakan lainnya. Bahkan sampai merelakan kebersamaan dan relasi dengan sesama demi mengejar dan menumpuk kebahagiaan duniawi.
Perspektif beda
Akan tetapi, hal ini bertolak belakang dengan ajran iman kristiani. Secara khusus terhadap inti pesan perikop “Sabda Bahagia” yang diberikan Yesus pada saat kotbah di bukit (Mat. 5: 3-12).
Dalam amanat ini, Yesus memberi redefinisi baru tentang kebahagiaan.
Kebahagiaan ini tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal duniawi. Melainkan berasal dari hal-hal rohani seperti kerendahan hati dan kelemahlembutan diri.
Kebahagiaan ini bangkit dari rasa syukur kepada Allah yang sungguh menganugerahkan rahmat-Nya yang besar kepada setiap orang.
“Sabda Bahagia” menjadi petunjuk bagi kita dalam melihat kebahagiaan versi Kitab Suci. Secara eksplisit, perkataan Yesus ini sangat berbeda dengan pemahaman yang kita miliki saat ini.
Orang yang berbahagia adalah orang yang mengalamai dukacita, kehilangan harapan dan kekurangan makanan dan minuman.
Selanjutnya, orang yang bahagia dikaitkan dengan pribadi yang dianiaya, dicela dan mengalah dengan keadaan.
Definisi ini menimbulkan pertanyaan: Apakah orang mampu mengalami kebahagiaan dalam keadaanserba kekurangan?
Sherry Berton, pendiri sumber terapi online, TAO Connect di Golden, Colorado, mengatakan bahwa kebahagiaan tidak membutuhkan hal-hal yang utuh dan sempurna. Bahkan, hal ini dapat membawa manusia merasa kurang bahagia.
Tak penuh
Manfaat kebahagiaan tidak dapat dirasakan secara penuh dalam hidup.
Al-Ghazali, filsuf dan teolog Islam, juga bicara mengenai kebahagiaan.
Kebahagiaan dicapai dengan cara mengendalikan hasrat dan hawa nafsu dalam diri. Dengan kata lain, kebahagiaan diraih dengan keadaan diri yang bersih dari segala pengaruh si jahat.
Pendapat dari kedua tokoh di atas memiliki suatu prinsip yang sama dengan ajaran Kristiani. Kebahagiaan diperoleh dari sikap hidup yang sejati.
Sikap hidup benar
Sikap hidup yang menampilkan kebahagiaan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan nyata lewat sikap-sikap yang kecil dan sederhana.
Saat melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan membersihkan bagian rumah yang kurang rapi, kita melakukannya dengan senang hati dan tanpa ada paksaan.
Di saat berelasi dengan sesama, kita juga tidak lupa untuk saling menghargai dan mencintai, memberikan senyum serta saling berbagi dan membantu saat ada yang kesulitan.
Dengan sikap-sikap ini, kita mampu untuk mewujudkan kebahagiaan sejati dalam hidup. Kita menggenapkan kerinduan yang penuh atas anugerah Allah dalam hati dan budi kita.
Bertolak dari uraian tentang kebahagiaan di atas, penulis menyimpulkan bahwa di dalam kekurangan dan penderitaan hidup, kita mampu memperoleh kebahagiaan yang penuh.
Cara atau jalan yang dapat kita gunakan dalam mencapai kebahagiaan ini adalah dengan selalu bersyukur atas berbagai situasi dan kondisi yang kita alami.
Semua yang diberikan kepada kita selalu memiliki berkah dan hikmah. Hanya diri kita sendirilah yang mampu memutuskan, apakah kita bahagia dengan rasa syukur atau dengan kekayaan yang bertabur.
Dengan menjalani hidup dengan penuh keutamaan, kita mampu melewati berbagai tantangan dan rintangan menuju kebahagiaan yang sejati.