Home BERITA Mengulik Alur Gagasan Tahun Refleksi di KAJ

Mengulik Alur Gagasan Tahun Refleksi di KAJ

0
Ilustrasi: Malaikat saja perlu refleksi by Ping.

TAHUN 2021 ini ditetapkan sebagai Tahun Refleksi. Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo secara resmi telah menetapkan keputusan itu awal Januari 2021.

Banyak pertanyaan segera menyeruak telah muncul di benak para pembaca berkenaan dengan pencanangan tahun 2021 yang dideklarasikan sebagai Tahun Refleksi ini.

Bahan paparan mengenai gagasan itu sudah tersedia di kanal resmi situs KAJ. Namun demikian, penulis ingin berbagi pemikiran tentang alur gagasan ide besar itu dalam balutan paparan yang lebih sederhana dan ringkas.

Refleksi sebagai kekayaan tradisi Gereja

Dalam paparannya tentang gagasan Tahun Refleksi melalui program webinar awal Januari 2021 lalu, Ignatius Kardinal Suharyo merilis beberapa pokok pikiran “di balik” ide mencanangkan tahun 2021 sebagai Tahun Refleksi.

Berikut ini, penulis ingin paparkan garis besar alur pemikiran pokoknya dalam bentuk butir-butir gagasan.

  • Refleksi sebagai kegiatan untuk mawas diri ini sudah menjadi  tradisi Gereja.
  • Terjadi melalui mekanisme rekoleksi atau retret. Kebiasaan baik ini sudah menjadi kekayaan tradisi Gereja sejak dahulu kala.
  • Refleksi pada dasar bertujuan untuk menentukan sikap mau kembali kepada “identitas” diri atau jatidiri pribadi atau kelompok.  
  • Dalam “bahasa” organisasi, maka refleksi melalui rekoleksi atau retret tidak lain mengarah pada upaya serius mau kembali pada jatidiri kelompok atau organisasi. Mau kembali pada semangat awal kelompok atau organisasi itu dulunya didirikan untuk maksud dan tujuan apa dan bagaimana.
  • Ini berarti upaya mau melakukan revitalisasi organisasi pada AD-ART kelompok.

Integritas pribadi

Kardinal Suharyo mengatakan, kalau terjadi kesesuaian antara jatidiri personal dengan  tingkah lakunya dalam masyarakat maka hal itu bisa disebut pribadi yang berintegritas.

Artinya, antara apa yang dia bicarakan sebagai “semangat” diri itu memang benar-benar dihayati sebagai laku hidupnya sebagai pribadi di tengah komunitas atau masyarakat.

Hidup yang integral artinya mampu menjalani hidup sesuai semangat jatidiri. Ada sinkronitas antara semangat dan penghayatannya.

Kini, kita paparkan dalam alur gagasan yang lebih sederhana.

  • Setiap pribadi punya jatidirinya masing-masing. Katakanlah semangat hidup yang masing-masing punya kadar tujuan dan maksud berbeda-beda.
  • Seorang bernama X bisa disebut pribadi berintegritas, kalau apa yang dia katakan sebagai semangat itu benar-benar dia jalani sebagai laku hidup sehari-hari. Kalau X mengaku diri “orang baik”, maka tingkah lakunya juga harus mencerminkan kebaikan.
  • Kalau kelompok atau organisasi punya AD-ART, maka organisasi itu bisa disebut berintegritas kalau memang benar-benar menjalani program kerja sesuai apa yang sudah digariskan oleh AD-ART.

Perlunya melakukan refleksi

Nah, untuk kita bisa terus-menerus mampu berjalan di atas “rel yang tepat-benar”, maka refleksi menjadi penting dan berguna untuk dilaksanakan.

Sebagai umat Katolik, refleksi kita lakukan dalam bentuk penelitian batin, rekoleksi dan retret.

Tujuannya agar kita bisa kembali ke “jatidiri” kita masing-masing dan kelompok di mana kita bergabung masuk di dalamnya.

Tujuan hidup

Bicara tentang tujuan hidup, Kardinal Suharyo lalu mengutip kutipan “Azas dan Dasar” dari buku Latihan Rohani yang digariskan oleh Santo Ignatius de Loyola -pendiri Ordo Serikat Jesus (Jesuit).

Di dalam teks Latihan Rohani nomor 23 itu disebutkan bahwa tujuan hidup manusia sebagai berikut:

  • Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya.
  • Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan.
  • Karena itu, ciptaan dapat dipergunakan atau dilepaskan. sejauh itu membantu atau menjauhkan kita dari tujuan.
  • Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada kita dan tak ada larangan.
  • Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek.

Di sini Kardinal Suharyo mengambil spiritualitas Ignatian yang dihayati para Jesuit sebagai model contoh jatidiri manusia di hadapan Allah. Bisa jadi, santo-santa lain punya rumusan berbeda.

Dari spiritualitas Igantian tersebut, kita mendapati tema besar tentang:

  • Tujuan hidup manusia adalah untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah.
  • Aneka ciptaan lain itu pada dasarnya hanya sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
  • Contohnya, mobil itu hanya sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan destinasi dengan lebih cepat dan nyaman.
  • Kalau kita sudah dihinggapi “penyakit” konsumtif, maka orang lalu memilih merek mobil, bukan lagi memprioritaskan fungsi kendaraan itu untuk apa.
  • Dengan refleksi, kita bermaksud mau mengembalikan posisi batin kita agar hidup kita terarah pada tujuan kita diciptakan. Bukan mengejar sarana, tapi lalu malah melupakan tujuan hidup.
  • Dalam hal ini, kita perlu memiliki sikap lepas bebas (indefferentia) dengan menjadikan semua ciptaan itu sebagai sarana saja; dan bukan tujuan hidup.

Iman kristiani

Sebagai murid-murid Kristus kita percaya dan mengimani Yesus yang lahir dalam sejarah manusia dan kemudian mati disalib, namun kemudian bangkit dari kematian dan naik ke surga.

Sebelum menuju ke kematian-Nya, Yesus menyelenggarakan Perjamuan Terakhir di mana dia membagi-bagi roti dan kemudian memberikannya kepada para murid untuk disantap.

Perayaan Ekaristi merupakan puncak selebrasi iman kristiani di mana di situ roti dipecah-pecahkan dan kemudian dibagikan sebagai santapan rohani.

Maka, dengan melalui refleksi, kita masing-masing diajak kembali menemukan jatidiri kita sebagai murid-murid Kristus akan mengimani pokok-pokok dasar iman kita.

Dari Perayaan Ekaristi itulah orang diajak untuk memiliki sikap dasar mau membagi-bagikan diri dan perhatiannya bagi sesama.

Kiranya, Tahun Refleksi 2021 akhirnya mengarah pada tujuan penting ini yakni demi semakin memiliki jiwa penghayatan yang lebih mendalam akan spiritualitas Ekaristi.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version