SIAPA tak kenal Golkar? Partai berlambang pohon beringin dengan warna kuning ini telah menjadi kendaraan politik bagi Orde Baru dan tetap menjadi salah satu partai besar (suka atau tidak suka) hingga kini dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Namun mungkin tak banyak yang mengenal pendiri Golkar, apalagi penggagas partai yang mulanya berlandaskan pada kekaryaan ini. Adalah misionaris Katolik Belanda bernama Josephus Gerardus Beek, SJ yang membawa ide pembentukan partai itu.
Belajar dari negara korporatif yang dipraktikkan dan cukup populer di Portugal pada 1930-an, Pater atau Pastor Beek, begitu dia sering disapa, memperkenalkan gagasan negara tanpa partai dimana perwakilan rakyat di DPR bukan wakil partai tetapi dari golongan karya yang terdiri dari para petani, nelayan, pemangkas rambut, pengusaha dan nelayan.
“Itulah ide semula. Tetapi di Eropa, ide ini lambat laun menjadi alat kediktatoran. Ide yang semula baik sekali di kemudian hari diselewengkan,” demikian ungkap salah satu sahabat Pater Beek, budayawan dan pastor Dick Hartoko, SJ seperti dikutip oleh Majalah Tempo dalam sebuah wawancara di tahun 1999.
Di Indonesia pun, karena Golkar sangat lekat dengan Orde Baru, maka ia juga sulit dipisahkan dari warisan kehancuran dan korupsi dari orde di bawah Presiden Soeharto itu.
Mungkin, jika Pater Beek masih hidup dan digugat atas keberadaan Golkar, dia akan mengucapkan kata-kata tegas yang masih dengan baik dikenang oleh para muridnya dalam kelas penggodokan dan kepemimpinan selama sebulan yang dikenal sebagai Khasebul, atau khalwat sebulan: Lakukanlah sesuatu yang baik karena itu baik. Titik. Selebihnya bukan urusan kita.
Dilihat dari kacamata sekarang, sikap itu terkesan naif, dan mungkin lebih gampang menyalahkannya daripada melihatnya sebagai sebuah keyakinan diri untuk berbuat baik tanpa takut dan cemas akan apapun.
Tak pernah setengah-setengah
Bagi Pater Beek, keyakinan itu tak pernah setengah-setengah. Keyakinan harus panas atau dingin, tidak pernah hangat-hangat tahi ayam. Keyakinan itu rela mengambil risiko, termasuk jika suatu keputusan yang diambil ternyata dianggap salah.
Pater Beek juga kenyang dengan hidup yang keras di kamp interniran selama pendudukan Jepang di Kesilir, Banyuwangi (1943), kamp Banyubiru, Semarang (1944), kamp Cikudapateuh, Bandung (1945), dan kamp Pundong, Bantul (1946).
Tak heran ketika ia berkarya mendirikan asrama mahasiswa Realino untuk semua golongan dan agama, ia pun menerapkan pendekatan yang keras dan tegas sebagaimana tercermin dalam semboyan asrama itu, Sapientia et Virtus (kebijaksanaan dan keutamaan).
Ia pendidik yang tak suka punya mahasiswa yang lembek dan tidak punya api yang berkobar-kobar di dalam diri mereka. “Only the fight that counts: Hanya perjuanganlah yg menentukan,” demikian ungkapan favoritnya seperti dikutip dalam buku “Pater Beek SJ, Larut Tapi Tak Hanyut”.
Lagi-lagi dalam pedagogi moderen, pendekatan pendidik semacam itu sering dianggap kuno, tidak sensitif terhadap kepribadian dan kondisi kejiwaan terdidik.
Pendekatan pendidikan yang keras semacam itu seturut dengan peribahasa Belanda yang mungkin dihayatinya dengan baik, “Zachte heelmeesters maken stinkende wonden” (Cara pengobatan yang lemah lembut membuat borok makin menyengat baunya).
Yang jelas, orang mengetahui bahwa Pater Beek mempunyai siswa-siswa yang menjadi tokoh-tokoh yang unggul di bidang masing-masing. Salah dua anak asuhnya yang muslim dan bersinar terang adalah pemikir muslim Ahmad Wahib yang mati muda dan mubaligh kondang Hasan Basri.
Bagi kebanyakan yang tidak mengenalnya, Pater Beek adalah misteri karena ia selalu memilih bekerja di balik layar. Dia tak suka pamer dan berpuas bahwa pemikirannya, semangatnya tetap hidup dan berkobar-kobar di hati para muridnya. Sebagaimana dengan terang benderang dikatakannya: Di dunia ini jangan bikin monumen. Nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati.
Ya, Pater Beek berpulang dalam damai pada usia 66 tahun di RS Sint Carolus, pada 17 September 1983. Banyak yang masih gelap tentangnya, tapi orang bisa merasakan bahwa ia pastilah orang yang istimewa. Seperti garam ia larut tapi terasa asinnya.
Sumber: Sudarmanto, JB, Pater Beek SJ, Larut Tapi Tak Hanyut, 2008, Obor.