DALAM hidup religius, entah sebagai imam, bruder dan suster, selalu saja ada beberapa tahapan pembinaan rohani dan semangat hidup religius (baca: spiritualitas dasar) yang biasa disebut formatio. Proses formatio ini berlangsung dalam berbagai tahapan.
Aspiran dan postulan
Paling awal adalah aspiran di mana para calon dianggap punya ‘keinginan’ atau cita-cita untuk sekali waktu bisa menjadi anggota religius, entah itu bruder atau suster. Tahap ini biasa terjadi dalam kurun waktu 6-12 bulan dan proses ini disebut aspiran. Untuk mereka yang punya ‘cita-cita’ menjadi imam, maka tahapan itu terjadi melalui proses pendidikan dan pembinaan paling dasariah di seminari-menengah untuk lulusan SMP atau SMA dan sederajatnya.
Usai aspiran (berlaku untuk calon bruder dan suster), barulah kemudian para calon masuk dalam proses pembinaan selanjutnya yakni postulan dan ini berlangsung dalam kurun waktu setahun.
Setelah dianggap cocok dan sesuai dengan semangat dasar tarekat, maka para postulan baru diperkenankan masuk tahap berikutnya yakni novisiat dan ini biasanya berlangsung selama dua tahun.
Novus, novum, novis, novisiat
Kata ‘novis’ berasal dari kata dasar bahasa Latin yakni ‘novus-novum’ yang artinya baru, anyar. Kata bahasa Indonesia ‘novis’ mengadopsi kata dan makna sama dari bahasa Latin tersebut.
Dari kata ‘novis’ itulah muncul kata berikutnya yakni ‘novisiat’ dengan arti tempat pembinaan di mana para novis tengah digembleng secara mental dan spiritual untuk kemudian bisa mencecap spiritualitas (semangat dasar hidup religius masing-masing tarekat) dan lalu menjadikannya sebagai ‘modus vivendi’ alias cara hidup.
Dengan demikian, novis berarti para calon imam, bruder dan suster yang berada di novisiat selama kurun waktu pembinaan dan mengalami proses gemblengan secara intensif seturut prinsip dasar masing-masing tarekat religius.
Dalam konteks pembinaan para ‘novis’ (calon) imam diosesan (praja), maka proses yang sama itu terjadi di Tahun Orientasi Rohani (TOR) yang biasannya berlangsung selama satu tahun.
Proses pembinaan novis biasanya berlangsung dalam kurun waktu dua tahun.
Ganti busana
Salah satu ciri umum yang biasanya terjadi dan itu menandai seseorang resmi menjadi ‘novis’ di sebuah rumah novisiat tarekat religius adalah lukar busana. Dari pakaian awam preman biasa menjadi ‘busana religius’ dalam bentuk jubah atau busana suster.
Jubah dipakai untuk frater novis calon anggota tarekat religius imam atau imam diosesan dan bruder. Sedangkan busana religius dipakai oleh para novis suster berbagai tarekat.
Prosesi ganti busana di novisiat selalu menarik untuk disimak. Tidak hanya bagi para pelaku ‘ganti busana’ (baca: frater novis, bruder novis, atau suster novis) saja, melainkan seluruh ‘pemangku kepentingan’ di novisiat yakni para pembina novis (biasanya disebut magister atau magistra atau novice master), pemimpin tarekat religius, dan keluarga para novis tersebut.
Dua Novis Baru untuk Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (1)
Memanglah, yang terjadi hanyalah ‘ganti busana’. Para frater dan bruder novis yang semula dan sehari-hari berpakaian preman awam, kini boleh punya ‘koleksi baju baru’ berupa jubah imam atau jubah bruder.
Para suster novis pun sama, namun derajad makna dan ‘cara berpakaian’ mereka jauh lebih ‘radikal’ dibanding para novis lelaki. Itu karena, sekali ‘ganti busana’ dengan ‘seragam suster’, maka para suster novis itu mulai saat itu juga dan untuk selamanya ‘harus’ selalu memakai ‘seragam busana suster’ tersebut.
Memaknai ganti busana
Di Biara Induk Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS) di hari Selasa sore tanggal 14 Agustus 2018 terjadilah peristiwa ‘lukar baju’ oleh dua remaja puteri.
Sr. Maria Gabriela SFS dan Sr. Maria Filomena SFS mulai hari itu resmi boleh memakai baju atau busana ‘seragam khas suster’. Hal itu terjadi dalam sebuah prosesi penerimaan keanggotaan mereka dalam tubuh Kongregasi SFS sebagai suster novis.
Sebelum resmi boleh berbusana ‘layaknya para suster’, kedua gadis remaja asal Kefamenanu di Timor dan Medan di Sumut itu memakai busana khas para aspiran suster yakni baju hem putih dengan dasar hitam. Kini, setelah mereka resmi diterima Kongregasi Religius sebagai novis, barulah saat itu keduanya bisa berpakaian layaknya para suster.
Sebelum mereka diperkenankan memakai ‘baju seragam khas suster religius’, kedua calon suster novis SFS itu berpakaian adat khas tradisional dari mana mereka dulunya berasal.
Sr. Maria Filomena SFS berbusana layaknya gadis-gadis dari Mena, Keuskupan Atambua di Timor, NTT.
Sedangkan, Sr. Maria Gabriela SFS memakai busana khas adat Batak sesuai kawasan di Sumut darimana dia aslinya berasal.
Keduanya masuk altar masih berpakaian adat tradisional.
Usai resmi ‘diterima’ sebagai novis SFS, barulah busana khas adat itu mereka tanggalkan dan kemudian mereka mulai berpakaian layaknya para suster. (Berlanjut)