Dari jumlah itu, ada salah satu stasi yang memiliki calon krisma terbanyak yaitu sampai 80 orang. Pelajaran krisma di percayakan kepada saya. Maka saya mesti keliling dari stasi yang satu ke stasi yang lain untuk mengajar mereka. Stasi yang memiliki calon krisma 80 orang ini sungguh memberi kesan tersendiri bagi saya. Dari 80 calon krisma yang ada dan terdaftar, tidak pernah lebih dari 20 orang yang datang untuk mengikuti pelajaran krisma. Tentulah ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya, atau siapa saja yang sering memberi pelajaran krisma.
Suatu saat saya mengajar di stasi dengan jumlah calon yang terbanyak itu. Sampai di stasi saya mesti menunggu kurang lebih 30 menit; sembari melepas lelah dan menunggu para calon krismawan untuk belajar, saya ngobrol dengan salah satu bapak yang rajin datang. Syukur pada Allah ketika itu ada 18 calon yang datang untuk pelajaran. Ketika sedang memberi pelajaran, saya tertarik pada seorang pemuda yang menulis dengan cermat materi yang saya berikan. Setelah saya dekati, ternyata dia tidak menulis tapi hanya urek-urek (hanya mencoret-coret bukunya-tidak menulis) di bukunya. Dan setelah saya tanya ternyata dia tidak tahu baca.
“Hai, kamu buat apa?”
“Aduh Pater, saya tidak tahu tulis, jadi”
Begitulah, pemuda ini tidak tahu tulis yang artinya tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mungkin karena malu, maka ia pura-pura menulis. Ia menunjukkan keseriusannya dengan kepala menunduk dan tangan kanan memegang pulpen sembari mencoret-coret pada buku tulisnya.
Krisma
Tibalah hari yang dinantikan yaitu penerimaan sakramen krisma. Pada hari “H” tentu saja semua orang yang terdaftar datang untuk menerima sakramen Krisma. Termasuk juga mereka yang tidak pernah ikut pelajaran sama sekali. Mereka tidak memikirkan bagaiaman semestinya menerima sakramen krisma dengan layak atau setidaknya mengerti apa itu sakramen krisma. Yang mereka mengerti adalah bahwa mereka sudah dibaptis, dan sekarang sudah dewasa maka punya hak untuk menerima krisma. Apalagi banyak teman sebaya yang juga menerima Krisma.
Bisa dibayangkan bagaimana kekacawan yang terjadi pada saat bapa uskup menerimakan sakramen Krisma. Mereka tidak menjawab seruan bapa uskup hanya diam dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Saya sendiri saat itu masih diakon, dan tidak dapat berbuat banyak. Para pengurus dewan stasi saja takut dan tidak berani melarang mereka yang tidak ikut pelajaran untuk menerima krisma. Yang mungkin mengheranakan juga adalah ada salah satu pewarta yang tidak pernah ikut pelajaran tapi masuk barisan untuk menerima krisma.
Terlalu banyak yang tidak belajar, sehingga para pengurus merasa kewalahan dan tidak mampu mengatasi situasi ini. Mereka takut kalau umat yang tidak ikut pelajaran, tidak diperbolehkan menerima krisma, akan berbuat anarkis yaitu memukul mereka. Bisa dibayangkan bagaimana situasi setelah krisma selesai. Banyak yang tidak terdaftar tapi menerima krisma.
Tentulah kita mesti bertanya dimana mereka dibaptis, lalu mengirim berita ke paroki dimana ia dibaptis untuk memberi informasi bahwa ia sudah menerima sakramen krisma. Itu belum seberapa, yang lebih parah lagi orang-orang dewasa di sini dapat dipastikan sudah dibaptis. Tetapi setelah dicek di tempat di mana ia dibaptis, tidak ada. Dan masih banyak keunikan dan dinamika pelayanan di sini. Tentulah semua itu menjadi bumbu-bumbu manis dan juga pahit dalam menjalani pelayanan di sini.
Refleksi
Kita yang sudah terbiasa akan aturan tentulah akan memandang aneh dan mungkin akan mencibir dan heran. Bagiamana hal itu bisa terjadi, semestinya yang tidak ikut pelajaran tidak boleh menerima Krisma. Tapi hal ini tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak situasi yang menghimpit mereka sehingga untuk ikut pelajaran saja tidak sempat. Selain itu pemahaman mereka yang salah akan Sakremen Krisma.
Menerima sakramen krisma menjadi semacam hak bagi yang dewasa, walau mereka tidak mengetahui makna sakramen itu sesungguhnya. Ada bahkan yang hanya ikut-ikutan saja. Mereka berjuang untuk mempertahankan hidup dengan mencari nafkah, sehingga untuk ikut pelajaran atau terlibat dalam kehidupan menggereja dan mengiktui aturan tidak mudah.
Mungkinkah ini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus ketika mengatakan, “Hari sabat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat”. Aturan yang ada digunakan untuk sebuah kebaikan, kesejahateraan dan terleblih keselamatan bersama, dan bukan untuk membelenggu hidup manusia. Namun demikian bukan berarti aturan itu tidak penting.
Aturan amat penting bukan hanya untuk menciptakan keteraturan tapi juga untuk menegaskan betapa hidup manusia sebagai makhluk sosial itu perlu ditata untjuk sebuah keharmonisan. Adanya aturan itu untuk menegaskan bahwa hidup dalam kebersamaan menjadi bagian integral dalam setiap individu.
Di sekitar kita ada banyak orang yang menuntut haknya, tanpa sebelumnya melakukan kewajiban. Berhadapan dengan orang seperti ini, kita bukan hanya dituntut kesabaran, tetapi terlebih melakukan pendekatan personal, agar ia akhirnya memahami makna hidup dalam kebersamaan.