Home BERITA Menyalakan Lilin

Menyalakan Lilin

0
Lilin mengurbankan diri untuk menerangi sekitar. (Ist)

Senin, 19 September 2022

  • Ams. 3:27-34
  • Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5.
  • Luk. 8:16-18.

ADA sebuah peribahasa yang berkata: “Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan”.

Ibaratnya, jika kita ada dalam ruangan yang gelap, lalu kita mengeluh, mengumpat dan mengutuk sekalipun, tidak akan ada perubahan sampai kita menyalakan lilin yang memberikan cahaya terang dalam ruangan tersebut.

Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata. Bukankah ini juga kita dibutuhkan dalam menghayati panggilan kita sebagai pengikut Kristus untuk memancarkan terang-Nya?

Cahaya kasih Allah hanya akan bersinar jika kita menyatakan Firman-Nya bukan hanya melalui perkataan tetapi juga dalam tindakan nyata di lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan di lingkungan masyarakat secara luas.

Meski untuk itu, tidak mudah karena selalu saja ada tantangan dan hambatan. Sering kali tantangan dan hambatan itu, justeru muncul dari kalangan kita sendiri. Tanpa sadar sikap dan kata-kata yang disampaikan karena dorongan ketidaktahuan, kesombongan, kekecewaan, iri hati, bisa memadamkan api semangat sesama dalam menghidupkan firman Tuhan.

Seorang ibu mensyeringkan betapa dia merasa sangat lelah menghadapi omongan- omongan rekan-rekan sesama teman yang terlibat dalam pelayanan.

Kadang ingin rasanya meletakkan beban perasaan itu dan off dulu dari pelayanan.

Karena setiap langkah selalu disoroti, dikritisi, bahkan dicari kesalahannya hingga terasa pedas di telinga dan sangat tidak nyaman.

Pelayanan di Gereja menjadi tidak mudah, tidak menggembirakan bahkan menguras energi yang mestinya bisa digunakan untuk mendorong kreaktivitas malah terbuang sia-sia.

“Jangan setiap omongan orang kamu masukan ke dalam hati dan pikiran, serta perasaan. Jadikan omongan yang negatif itu sebagai bagian evaluasi, jika benar berterimakasihlah, jika tidak benar buang saja, biarkan saja,” kata sahabatnya.

“Sinar cahaya itu menyilaukan bagi orang yang selalu tinggal di kegelapan. Orang-orang seperti ini, berkomentar, berteriak, menjerit, bukan karena terang itu jahat, tidak benar namun karena dia masih sakit, belum terbiasa dengan cahaya kebenaran,” tegas sahabatnya.

“Masalah bukan pada terang dan cahayanya namun pada mata yang belum terbiasa,” lanjutnya.

“Maka sangat disayangkan jika menghadapi orang seperti itu, kita mundur dan mematikan lilin yang membawa terang dalam kebersamaan,” paparnya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,

“Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.”

Menjadi pelita adalah panggilan Tuhan bagi kita semua. Menjadi pelita berarti menjadi berkat bagi orang lain.

Menjadi pelita bagi orang lain tidak harus selalu menjadi seorang fulltimer di gereja. Apalah artinya kita sibuk dengan jadwal pelayanan yang padat, jika kehidupan kita sendiri tidak menjadi terang dan tidak berdampak bagi orang lain?

Ketika pelita dinyalakan sumbunya akan semakin terbakar, artinya mendatangkan kerugian bagi orang yang menyalakan pelita itu.

Jadi ada harga yang harus kita bayar untuk menjadi pelita bagi orang lain! Kita harus siap untuk berkorban dan rugi. Jika kita menyayangkan hal itu maka pelita tidak akan pernah menyala.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku tahan terhadap serangan orang yang ingin memadamkan pelita hidupku?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version