BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Rabu, 22 Desember 2021.
Tema: Arus rahmat.
Bacaan
- 1 Sam. 1: 24-28.
- Luk. 1: 46-56.
PUJIAN merupakan ungkapan syukur atas kebaikan yang lain. Pujian yang tulus keluar dari hati yang murni.
Pujian selalu membawa orang kepada kebaikan dan syukur. Memuji berarti orang tahu berterimakasih atas kebaikan yang lain.
Selain itu, pujian juga menggembirakan pihak yang lain untuk tetap bertumbuh dalam arus kebaikan.
Seseorang yang mampu memuji adalah seorang yang tahu apa arti kebaikan. Orang yang terbuka akan segala sesuatu yang baik. Dan kebaikan itu selalu cenderung menyebar.
Ia memberi dukungan dukungann bagi yang lain untuk tetap bertumbuh dan berjalan dalam arus rahmat.
Menjadi berkat.
Pujian kepada yang lain merupakan tindak kerendahan hati. Ia mengakui yang lain; menghargai yang lain.
Ia sendiri juga terdorong untuk melakukan hal yang sama.
Kerendahan hati dan kebaikan muncul dari hati yang terberkati. Ia memberi iluminasi.
Pujian atas tindakan kebaikan orang lain juga merupakan doa; cara pengudusan hidup.
Tiba-tiba seseorang WA.
“Romo Selamat Natal. Saya rindu berbagi kasih seperti yang almarhum papa mama lakukan.
Saya tidak bisa bertemu Romo. Jauh dan sekarang masih masa pandemik. Saya transfer ya.”
“Saya langsung teringat almarhum papa mamanya. Pribadi yang kukenal dengan baik, dekat dan akrab. Bahkan ia memperlakukanku sebagai anaknya sendiri. Saya pun menghormatinya layaknya sebagai orangtua sendiri.”
Rupanya kebaikan itu diteruskan dan bukan hanya sekali. Penerusan kebaikan turun-temurun menjadikan sejarah keluarga menjadi sejarah kebaikan yang turun-temurun.
Kalau terus berkembang, berlanjut sampai ke cucu dan cicit dapat menjadi sebuah sejarah kasih keluarga yang mengagumkan.
Spontan saat itu, saya mengenang kebaikan, ketulusan, perhatian dan cinta almarhum papa dan mamanya.
“Pastur, apa kabar?”
Suatu pagi seorang bapak menyapa. “Baik bapak. Sendiriankah?”
“Ya sama ibu. Masih ada di belakang. Saya sengaja menemui pastor dulu.”
Selang beberapa saat, seorang ibu menyusul.
Dalam hati kecil saya sedikit kikuk dengan sebutan pastor. Sudah tidak terbiasa. Lama sudah tidak terdengar.
Tapi saya maklum. Mereka sangat dikenal baik, rendah hati dan suka menolong.
“Baik dan sehat, bapak-ibu. Terimakasih sudah ber-Ekaristi bersama.”
“Orang Katolik harus begitu Pastor. Wajib hukumnya ke gereja. Apalagi ber-Ekaristi bersama. Tidak hanya kita jumpa dengan yang lain. Kita diundang ikut perjamuan suci.”
Saya kagum dan terkesan. Tegas atas imannya. Berprinsip dan baik.
Semenjak saya berkunjung ke rumahnya, suasana persaudaraan semakin akrab. Sang mama sangat memperhatikan kesehatan kami. Sering mengirim makanan tambahan. Kami selalu diistimewakan
“Pastor harus sehat karena banyak melayani,” kata mereka mengingatkan.
Sebuah perjumpaan yang menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Ketika mengenang beliau, saya merasa beliau masih hidup. Dan memang hidup, tetapi bersama Bapa di surga. Kenangan akan kebaikan menjadi jembatan relasi.
Pengalaman kebaikan menjadi sebuah dorongan untuk tetap menjadi berkat bagi yang lain. Sekecil apa pun yang kita lakukan bagi yang lain sangatlah berart.
Ketulusan membuat kenangan itu abadi.
Bukankah Yesus berkata, “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”
Setelah mendengar salam dan kegembiraan Elisabeth, Maria pun memuji Allah Bapa.
Sebuah kidung yang mengagumkan. Pujian yang keluar dari hati yang menyembah.
Hati yang bersyukur. Hati yang mengingat akan kebaikan Tuhan selama hidupnya.
Hati yang percaya dan berani berserah. Percaya, mulai hari ini sampai selamanya, aku dicintai Allah.
Dan aku mempersembahkan hidupku, keluargaku, syukurku atas kasih-Nya yang tak berkesudahan.
“Siapakah aku ini, sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” seru riangnya Elisabeth, ay 43.
Dan Maria membuka pujian syukur atas kebaikan Tuhan dengan berseru, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” ay 46-47.
Sebuah sukacita Injil. Kegembiraan surgawi.
Tuhan, syukur atas kebaikan-Mu lewat umat kudus-Mu. Amin.