“Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini.” (Luk 18, 9)
DUA orang anak PIA bertengkar dan saling menyalahkan di depan gurunya. “Membuat tanda salib yang benar kan menggunakan tiga jari, ya bu?”, kata yang seorang. Yang lain tidak mau kalah. “Bukan dengan tiga jari, tetapi dengan satu jari ya bu. Mamaku ngajari begitu kok!”, jawab anak satunya. Gurunya mendamaikan mereka dengan mengajak bernyanyi bersama dengan teman lainnya.
Merasa diri paling benar merupakan kenyataan yang sering menghinggapi banyak orang, entah anak-anak, remaja, orang muda maupun orang dewasa. Bahkan orang yang sudah tua dan lanjut serta banyak pengalaman juga sering dihinggapi sikap seperti itu. Mereka merasa bahwa dirinya lebih atau paling benar. Perasaan itu biasanya mengalir dari pengalamannya yang luas, pendidikan yang tinggi atau sumber-sumber informasi yang kaya.
Bisa juga terjadi bahwa sikap atau perilaku seperti itu merupakan suatu ciri yang melekat dalam diri seseorang. Ada orang yang selalu menganggap bahwa dirinya benar dibandingkan dengan orang lain. Orang seperti ini biasanya berbicara keras dan ngotot, tidak mau menerima masukan atau gagasan orang lain, menyepelekan dan memandang rendah orang lain, mudah mutung atau ngambek kalau usulan atau gagasannya ditolak. Orang seperti ini tidak sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan dan kelemahan; bahwa dirinya adalah manusia yang tidak sempurna. Mereka ini biasanya sudah mempunyai pola pikir tertentu yang sulit untuk berubah dan sulit menerima hal-hal yang baru.
Orang yang menganggap dirinya benar tidak hanya hidup pada jaman dahulu, tetapi juga masih ada sampai saat ini. Apakah diriku termasuk jenis orang yang selalu menganggap diri benar dibandingkan dengan orang lain?
Teman-teman selamat pagi dan selamat berakhir pekan. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
