MENJELANG peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, keheningan dan kesenyapan menemaniku dalam retret tahunan kali ini. Heningnya malam menciptakan nuansa tersendiri bagiku.
Terutama ketika melihat sudah ada banyak kolega susterkudi Kongregasi SFD yang sudah mulai menapaki garis usia senja. Itu lalu menyadarkan aku bahwa pada akhirnya aku juga akan seperti mereka.
Di usia yang demikian sepuh itu, maka dengan khusuk dan serius mereka mengikuti pertemuan demi pertemuan yang dibawakan oleh seorang rohaniwan Fransiskan. Sejenak terlintas peristiwa bersama dengan suster sepuh dari Kongregasi SFD.
Dalam diam dan sepi masih terjalin komunikasi, saling peduli, saling melayani, saling menuntun oleh karena ada beberapa saudari yang bermasalah dengan kaki, mata dan juga daya ingat. Namun, aura kebahagiaan dan kedamaian memancar dari setiap wajah ayu suster sepuh. Mereka merasakan bahwa mereka diperhatikan dan dimengerti oleh suster yang muda.
Akal pikiranku pun merambat, sudah saatnya mereka mencecap kebahagiaan, kedamaian dan perhatian sehingga mereka merasakan aura at home tinggal di biara guna menikmati masa-masa indah di penghujung hidupnya. Dan bila tiba saatnya Tuhan memanggil, dengan jiwa tenang dan damai mereka siap menghadap Tuhan Yang Kuasa.
Tentu pada masa mudanya, mereka sudah berpeluh keringat berjuang melanjutkan karya misi Allah demi kerajaan-Nya dan juga demi Kongregasi. Namun kini, karena termakan oleh usia yang semakin senja dan dibarengi oleh sakit penyakit, mereka sudah tidak mampu berkarya.
Entah mengapa, ketika menyaksikan ‘pemandangan’ semua itu, pikiranku sampai pada Bangsa Indonesia yang beberapa hari lagi akan merayakan Hari Kemerdekaan dan satu tahun lagi akan merayakan pesta demograsi rakyat menyambut Presiden Terpilih.
Mungkin saja, pikiranku terganggu karena dari luar tembok biara sayup-sayup terdengar bunyi drumband anak SD.
Usia kemerdekaan Indonesia genap 73 tahun, sama dengan usia susterku yang sudah sepuh, bahkan ada yang sudah 83 tahun. Muncul pertanyaan dalam benakku, sudahkah warga Indonesia merasakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang merata di bumi pertiwi sama seperti susterku yang sepuh itu?
Indonesiaku di usia 73 tahun
Kemerdekaan Indonesia kini sudah memasuki usia yang ke-73, usia di mana seorang manusia masuk dalam fase usia lanjut (lansia). Pemazmur mengatakan bahwa batas umur manusia 70 tahun dan jika kuat 80 tahun. Dan kini, usia RI sudah 73 tahun.
Usia 73 tahun merupakan usia yang cukup dewasa bagi negeri ini untuk merefleksikan, mengisi, dan mempertahankan kemerdekaan.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa perjuangan melawan penjajah lebih mudah dibanding dengan perjuangan melawan saudara sebangsa. Tidak bisa dipungkiri, kekhawatiran Bung Karno terjadi saat ini, isu SARA dalam kemasan praktik berpolitik tidak sehat melalui politik identitas telah ditempuh untuk kepentingan politik dan kelompok tertentu sehingga bangsa mengalami bahaya keterpecahan.
Tahun Politik menjadi semakin memanas. Sang Saka Merah Putih menitikkan air mata manakala harus menyaksikan semua itu. Itu terjadi, ketika masih saja ada pihak-pihak yang masih kurang puas dengan kinerja pemimpin yang menurut hematku sangat luar biasa.
Ada pihak yang kecewa oleh karena tidak puas akan kenyataan bahwa dia sebenarnya memang kurang mampu atau tergerus oleh nafsu dan ambisi.
Untuk itu sudah waktunya kaum muda bangsa bergerak bersama merebut ketenangan jiwa Bumi Pertiwi ini.
Sudah waktunya di usianya ini, Bumi Pertiwi Indonesia mengalami kesejahteraan dan kedamaian.
Sebagaimana para suster muda selalu berusaha memberi pelayanan yang terbaik kepada suster sepuh, maka kini saatnyalah kita bangun dan bangkit memperjuangkan terjaganya semangat kebhinnekaan dan keberagaman dan perbedaan pendapat sehingga pada perayaan 100 tahun nanti seluruh bangsa dapat menikmati kemajuan.
Caranya tidak perlu susah-susah cukup dengan mengisi kemerdekaan dalam hal sederhana sesuai dengan tanggungjawab kita masing-masing. Itu antara lain dengan tidak membuat onar dan menyusahkan orang lain. Rasanya, hal itu juga merupakan sebuah bentuk rasa kecintaan kita terhadap Tanahair ini.
Kemerdekaan batin
Berbicara dengan peristiwa kemerdekaan, saya teringat dengan perjuangan Bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir sebagaimana tersaji dalam kisah biblis di Kitab Perjanjian Lama. Dengan diangkatnya tongkat Harun tinggi-tingg, hal itu telah membawa berkat dan mukzijat bagi Bangsa Israel, tetapi sebaliknya menjadi tulah bagi bangsa lain.
Demikian juga sebaliknya, apabila tongkat Harun diturunkan maka kekalahan ada di pihak Israel. Tongkat di sini menurutku ibarat bendera Merah Putih bagi bangsa Indonesia. Berkat perjuangan para pahlawan, Sang Saka Merah Putih berhasil dikibarkan hingga sekarang.
Sedangkan bagiku, tongkat dan bendera merupakan simbol salib kebanggaan yang harus ditinggikan. Sedikit saja lengah, maka setan akan datang dengan menawarkan kenikmatan semu yang dapat meruntuhkan salib kemenangan kita.
Santo Fransiskus Assisi
Saya jadi teringat dengan tokoh idola saya yaitu St. Fransiskus dari Assisi, yang kebetulan pada hari retret ini kami geluti bersama. Hal yang mendominasi kehidupannya adalah renungan tentang sengsara Yesus.
Sambil bercucuan air mata, ia masuk dalam kontemplasi salib. Ia ingin merasakan penderitaan Yesus, sehingga dia dianugerahi lima tanda luka Yesus di kayu Salib.
Teladan St. Fransiskus telah mengajari saya untuk bangga dengan salib kita masing-masing, karena dengan salib inilah kita mengalami kemerdekaan batin. Kita dapat meletakkan semua pergumulan kita di bawah kaki salib Yesus dan Dia sanggup membawa pembebasan bagi kita.
Yeah, kita harus menumbuhkan semangat juang berbenderakan Merah Putih. Dalam arti, kita mestinya harus selalu siap mengangkat bendera salib tinggi-tinggi dan tidak akan melepaskan hingga titik darah penghabisan.
Dengan kekuatan salib, segala ketakutan, derita, dan godaan dapat diatasi.
Salam Merdeka.