ADA dua kosa kata bahasa Jawa yakni digugu dan ditiru. Artinya, disimak didengarkan dan diteladani.
Dua kota tersebut biasanya disematkan pada kata ‘guru’ yang kemudian dijereng menurut ‘rumus’ kerata basa menjadi ‘digugu’ dan ‘ditiru’.
Nah, dua kosa kata tersebut ingin saya sematkan kepada almarhum guru/dosen saya: Romo Wim van der Weiden MSF.
Tentang beliau ini, saya mempunyai kesan yang sangat baik. Beliau adalah benar-benar seorang guru yang pantas digugu dan ditiru.
Sungguh menghayati yang diajarkan
Beliau mengajarkan apa yang dia hayati dalam kesehariannya sebagai nilai-nilai kehidupan. Ia menghayati apa yang dia ajarkan kepada para mahasiswa –para frater calon imam dari berbagai rdo dan Kongregasi—dan itu dia lakoni setiap hari dalam kesehariannya sebagai seorang imam MSF dan pribadi yang hangat.
Bahan-bahan ajar dari Kitab Suci Perjanjian lama itu tidak menjadi sesuatu yang asing dan berat bagi para frater dan suster mahasiswanya yang setia mendengarkan di bangku kuliah. Melainka, bahan ajaran itu terasa sangat ‘membumi’ dan aktual.
Ketika beliau mengajarkan Kitab Mazmur, misalnya, saya merasa beliau sendirilah yang ‘bemazmur’ seperti Daud.
Atau ketika mengajarkan Musa, beliau terasa menghadirkan sebuah atmosfir rohani layaknya ‘Musa’ sendiri itu yang kini tengah berbicara kepada kami, para mahasiswanya.
Buku bertiel Setia, Kendati Lemah bagi saya adalah sharing beliau sebaga pribadi yg benar-benar setia sekaligus rendah hati.
Perhatian besar kepada para mahasiswanya juga sangat nyata.
Beliau senantiasa tidak segan rela mengayuh sepeda onthel-nya dari Wisma Nasareth ke Perpustakaan Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarya hanya untuk sekedar mencarikan bahan yang tadi sempat ditanyakan oleh mahasiswanya.
Luar biasa benar niatnya yang mulai ingin selalu membantu orang lain.