Home BERITA Mgr. Robertus Rubiyatmoko di Keluarga Besarnya: Yang Penting Selamat (9)

Mgr. Robertus Rubiyatmoko di Keluarga Besarnya: Yang Penting Selamat (9)

0
Keluarga besar Monsinyur Robertus Rubiyatmoko.

INI ada cerita lucu. Sekali waktu saat masih kecil, kami bermain petak umpet di sekitar rumah Demangan bersama teman-teman sekampung  termasuk saya. Waktu itu, kami kesulitan menemukan posisi dimana Mgr. Moko ini telah menyembunyikan diri.

Karena sangat lama mencari dimana ia telah ngumpet, maka kami semua menjadi bosan dan tak bersemangat mencarinya lagi. Bahkan dicari sampai sore, kami tetap saja gagal  menemukannya.

Nah, apa yang kemudian terjadi?  Ternyata, Mgr. Moko sendirilah yang ahirnya memberitahu  kami dimana dia telah bersembunyi. Hanya caranya di luar kewajaran: ia berteriak kencan minta tolong agar segera bisa dikeluarkan dari tempat ngumpetnya.

Nah, opo tumon? Waktu itu, Mgr. Moko bersembunyi di sebuah keranda mayat atau yang biasa kami sebuat bandosa.

Keranda itu terbuat dari kayu jati yang berat pintunya. Kami dibuat heran: kenapa dia bisa masuk tapi kemudian tidak mampu keluar sendiri? Tentunya saat membuka pintu, dia mampu menahan beban berat. Tapi, ketika keluar kenapa tak mampu?

Mendengar itu semua, kami –semua anak-anak sepermainannya—menjadi merinding ketakutan. Herannya kok bisa masuk tapi gak bisa keluar dan kejadian itu menjadikan semua orang ketakutan.

Hanya itu satu cerita ‘usil’nya Mgr. Moko. Yang lain, kami tidak tahu dan mungkin  juga tidak ada cerita lagi tentang hal itu.

Yang penting selamat

Cerita yang usil  tentang Monsinyur  setahu saya tidak ada. Itu karena Monsinyur terlalu baik dan jujur. Saking baik dan terlalu jujur itu, maka beliau sering ditipu dan dimanfaatkan orang.

Tapi anehnya tidak pernah marah, beliau selalu memaafkan.

Nah ini cerita ketika monsinyur  masih frater. Kami berempat yakni Mas Nardi,  monsinyur, saya, Riyastanto dari Mertoyudan pergi main ke Bangka. Singkat cerita, waktu sampai Palembang, kita berempat  turun dari bus langsung disamperin angkutan kecil menuju ke pelabuhan. Ternyata kami hanya dibawa muter-muter oleh angkutan tersebut.

Selidik punya selidik, ternyata mereka kawanan penjahat.

Kami curiga dan berniat mau melawan. Mereka berjumlah empat dan kami juga empat.

Tapi, monsinyur tidak berkenan, termasuk Mas Nardi hingga kemudian kami minta diturunkan saja di lokasi dekat kapal kayu.

Kemudian kami menghubungi saudara yakni Pakde Sudarwanto dan menginap di rumahnya semalam. Esoknya kami baru diantar ke pelabuhan.

Sesampai di pelabuhan, monsinyur pamit ke WC tapi tidak kembali-kembali. Ternyata dia tengah dipalak orang. Kami berusaha berontak, tapi monsinyur punya usul diajak berdamai saja. Kami bujuk monsinyur segera naik ke kapal dan kemudian saya nekad mencekik pemalak tersebut hingga ‘kaing-kaing’ minta ampun.

Di atas kapal, lagi-lagi monsinyur kena palak lagi karena diminta membayarin empat bungkus rokok oleh orang tak dikenal.

Kami tak habis pikir mengapa saudara kami ini selalu ‘bermurah hati’.

Sudahlah, kata monsinyur, kita harus memaafkan dan yang penting kita selamat.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version