Bacaan I: Kel 20:1-17
Bacaan II: 1Kor 1:22-25
Injil: Yoh 2:13-25
SORE itu, saya sengaja mengantar sendiri rantang milik salah satu umat yang dipakai untuk membawa makanan bagi para romo.
“Waduh, mengapa romo repot-repot mengantar rantang, kan ada koster?,” sapa nenek dengan ramah di depan rumahnya
“Sengaja Nek, ingin sekalian main ke rumah nenek,” jawabku.
“Saya tinggal sendiri di sini, anak-anak sudah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing dan jauh-jauh,” katanya ketika saya berdiri mengamati foto keluarga yang terpampang di ruang tamu.
“Wah, bagus,” jawabku.
“Suami saya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu, saya sendiri di rumah ini. Anak-anak minta saya tinggal bersama mereka, namun saya tidak bisa,” katanya.
“Kenapa? Bukankah kalau nenek tinggal sendiri seperti ini, anak-anak kepikiran; bahkan kuatir akan situasi nenek?,” kataku.
“Semasih saya bisa urus semuanya sendiri, saya akan tetap tinggal di sini,” katanya.
“Di sini saya bisa ke gereja setiap pagi, bertemu umat yang lain,” katanya.
“Di tempat anak pun bisa ke gereja setiap pagi,” kataku.
“Iya, namun persaudaraan, dan perasaan menyatu dengan gereja di sini tidak akan saya dapatkan di tempat lain,” katanya.
“Apa maksudnya perasaan menyatu?,” tanyaku.
“Kami ikut bersusah payah membangun gereja ini, dari umat stasi yang hanya beberapa orang, bangunan gereja yang sangat kecil dengan gedheg, sampai sekarang gedungnya megah,” katanya dengan penuh semangat.
Memang, nenek ini –meski sekarang dia hanya makan dari uang pensiunan– namun setiap bulan dia selalu berbagi untuk koster dan akan memasukkan amplop di kotak persembahan dari uang pensiunannya.
“Dulu, suami saya Ketua Stasi sebelum gereja ini jadi paroki,” katanya.
“Iya saya pernah baca dalam sejarah paroki, jadi Ketua Stasi hampir lima belas tahun ya Nek?,” kataku.
“Almarhum suami, setiap pulang dari mengajar, selalu ke gereja, untuk bersih-bersih, baik di dalam gereja maupun pekarangan,” katanya.
“Pengabdian bapak dikenang sampai saat ini oleh hampir semua umat di paroki kita,” kataku.
“Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.”
Ibu yang saya kunjungi sore itu menunjukkan cintanya pada rumah Tuhan dengan segala kesederhanaannya.
Baginya, hidup menggereja itu haruslah mempunyai rasa memiliki, menyatu rasa dengan umat yang lain. Bukan hanya seperti tamu atau orang asing yang tidak peduli dengan situasi yang ada.
Baginya, hidup menggereja itu bukan mencari untuk kepentingan diri sendiri. Apalagi menggunakan Gereja untuk ajang mencari rezeki atau pemuasan emosi serta gengsi.
Namun, Gereja adalah tempat pembaktian diri.
Apakah wujud cintaku pada Gereja?
Terimakasih semua semua yang aku dapat. Saya percaya Tuhan Allahku penyelamatku.Disaat saya tak berdaya aku percaya pasti datang penyelamatanku.
Aku yakin Tapi saya tak tahu berupa apa dan siapa dan saya sangat yakin Tuhan Yesus menolongku.
Terimakasih atas segala . Saya tak tau apa dan siapa dan bagaimana . Namun aku yakin. Semoga jatuh bangunku membuat mereka berharap kepada Tuhan jangan putus asa . Saya hanya percaya padahal hari inipula saya tak tau yang datang berupa apa .
Aku hanya punya doa Bapa Kami. Salam Maria dan doa Roh Kudus.