- Yoh 9:1-41
- 1Sam 16:1b, 6-7, 10-13a
REKAN-rekan yang budiman,
Kisah penyembuhan orang yang buta sejak lahir (Yoh 9:1-41) ini dibacakan dalam perjalanan kita pada hari Minggu Prapaskah IV tahun ini.
Orang itu sebenarnya tidak meminta atau dipintakan agar bisa melihat. Tapi seperti dikisahkan Yohanes, Yesus menghidupkan mata orang itu.
Penyembuhan kali ini terjadi lewat tindakan meramu lumpur dengan ludah dan persyaratan mandi di sebuah kolam.
Kita catat juga, peristiwa ini terjadi pada hari Sabat. Ketika diminta menjelaskan bagaimana ia jadi bisa melihat, orang itu belum mengenali siapa penolongnya tadi. Baru ketika berbicara dengan Yesus sendiri ia mengenali siapa sebenarnya dia itu.
Bacaan pertama (1Sam 16:1b, 6-7, 10-13a) menceritakan bagaimana Samuel dituntun Tuhan untuk mengenali orang piihan-Nya, yakni Daud, anak bungsu dari Isai, agar diurapi menjadi pemimpin umat.
Samuel mendapat kemampuan untuk melihat yang dilihat Tuhan, yakni yang lebih dalam daripada kenampakan luar belaka. Kemampuan batin ini amat menentukan.
Namun demikian, tidak serta-merta Samuel mendapatkannya. Ketika melihat ketujuh anak Isai yang lain, ia masih memakai ukuran-ukuran manusiawi bagi calon pemimpin. Tetapi kesadaran batinnya berkembang. Ia mendapat bimbingan untuk melihat lebih jauh.
Begitulah ia mendapati tak seorangpun dari ketujuh anak Isai tadi patut diurapinya. Masih ada yang bungsu yang sedang berada di luar “menggembalakan kambing domba” kata Isai ayahnya.
Dan memang Daud, anak bungsu inilah yang diurapinya. Tindakan Samuel ini menyatakan Daud sebagai. “Yang Terurapi”, dan bagi pendengar kisah yang paham Ibrani, segera terpikir bahwa inilah Mesias yang dipilih Yang Mahakuasa lewat ketajaman mata batin Samuel.
Baik si buta dalam Injil Yohanes maupun Samuel dalam bacaan pertama sama-sama mendapat tuntunan dari atas untuk setapak demi setapak sampai kepada yang benar. Tuntunan dan bimbingan ilahi dapat terjadi pada dua orang yang amat berbeda sekalipun.
Berikut ini akan ditinjau lebih jauh penggarapannya dalam Injil Yohanes.
Terang bagi dunia
Ada anggapan bahwa dosa dan cacat badaniah erat berhubungan. Ini tercermin dalam Kel 9:1-7 (penyakit sampar sebagai hukuman bagi orang Mesir); Mzm 38:2-6 (sakit akibat kebodohan pendosa); dan Yeh 18:20 (kutipan anggapan umum bahwa anak menderita akibat dosa orang tuanya).
Bahkan murid-murid percaya bahwa penderitaan atau cacat pasti akibat dosa, entah dosa orang itu sendiri atau orang yang mengandungnya (Yoh 9:2). Namun Yesus tegas menolak anggapan itu. Ia mengatakan bukan orang itu atau orang tuanya berdosa (ay. 3).
Dalam bagian kedua ay. 3 ia mengalihkan pemikiran murid-muridnya dari keinginan melacak asal mula cacat bawaan itu menjadi kesadaran bahwa karya ilahi bisa menjadi nyata dalam diri orang itu.
Selanjutnya ditambahkan bahwa selama masih ada kesempatan, perlulah mengusahakan agar terlaksana yang hendak dikerjakan oleh Dia yang mengutus – maksudnya karya penciptaan sendiri.
Lalu ditandaskannya dalam ay. 5, “Selama aku ada di dunia, akulah terang bagi dunia.”
Injil Yohanes kerap memakai gagasan “terang” dengan maksud mengingatkan orang akan terang yang diciptakan pada awal karya penciptaan (Kej 1:3-5). Terang ini menjadi dasar bagi hari-hari penciptaan selanjutnya.
Pada hari keenam manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Pencipta sendiri (Kej 1:27-31), artinya sempurna. Penciptaan dan pemberkatan manusia ditampilkan sebagai karya penciptaan yang paling besar dan paling akhir.
Karena itu, pada hari ketujuh Pencipta beristirahat.
Dengan menyebutkan kata-kata Yesus tentang dirinya sebagai “terang”, Yohanes bermaksud menampilkan Yesus sebagai awal karya penciptaan yang melandasi kejadian selanjutnya sampai ke penciptaan manusia yang utuh. Latar ini memperjelas makna ay. 4 “supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia”, maksudnya, agar karya penciptaan juga menjadi nyata dalam diri orang buta sejak lahir itu.
Orang itu memperoleh penglihatannya dan menjadi manusia yang layak, bukan lagi si buta peminta-minta. Dalam diri orang itu terjadi karya penciptaan juga: kegelapan, kebutaan sejak awal, digantikan dengan terang penglihatan dalam perjumpaan dengan sabda ilahi sendiri.
Orang itu juga menjadi pribadi yang berpikir mandiri. Ini jelas dalam tanya jawab dengan orang-orang yang menanyainya dan khususnya dengan Farisi nanti.
Melihat agar percaya
Ketika ditanyai bagaimana ia jadi bisa melihat, orang tadi menyebut “Orang yang bernama Yesus itu” mengobati matanya dengan lumpur dan menyuruhnya mandi di kolam Siloam (ay. 11). Ketika beberapa orang Farisi ikut menanyainya, jawabannya makin tegas (ay. 17), “Ia itu nabi!”
Tetapi orang-orang Farisi itu berusaha mengintimidasi dengan mempersoalkan kok terjadi pada hari Sabat! Orang itu kemudian bertemu Yesus lagi, tapi kali ini ia dapat melihatnya.
Ketika Yesus menanyainya apa ia percaya kepada “Anak Manusia”, orang itu balik bertanya, mana orangnya supaya ia bisa menyatakan diri percaya. Yesus mengatakan bukan saja ia melihat tapi sedang berbicara dengannya.
Ini penjelasan dari Yesus sendiri bahwa yang dimaksud dengan “Anak Manusia” ialah dirinya sendiri. Saat itu juga orang tadi bersujud dan berseru (ay. 38), “Aku percaya, Tuhan.”
Mula-mula orang tadi hanya mendengar bahwa yang menyembuhkannya ialah orang yang bernama Yesus. Tapi setelah ditanyai kok bisa terjadi begitu, ia menyimpulkan, orang itu pastilah seorang nabi. Dan ketika berjumpa sendiri dengannya dan melihatnya serta mendapatkan penjelasan dari Yesus sendiri, orang itu akhirnya bersujud dan percaya. Sebaliknya, orang Farisi bisa melihat tapi tak percaya.
Mengapa? Karena mereka tidak meluangkan diri bagi terang yang sesungguhnya. Gagasan-gagasan saleh sepihak yang mereka pertahankan mati-matian itu memenuhi diri mereka dan akhirnya menggelapkan mata batin mereka sendiri.
Melanggar kekudusan sabat?
Diceritakan oleh Yohanes bagaimana Yesus mengerjakan serangkai tindakan seperti yang lazim dilakukan seorang penyembuh tradisional: meramu lumpur dengan ludah dan memoleskan ke mata orang buta.
Ini terjadi di dekat Bait Allah seperti jelas dari konteksnya, Yoh 8:59. Baru saja Yesus meninggalkan Bait Allah menghindar dari ancaman dirajam di situ. Dalam berjalan menjauhi tempat itu ia melihat orang buta tadi (Yoh 9:1).
Saat yang tepat. Terang yang sesungguhnya dilempar keluar oleh mereka yang semestinya meluangkan tempat baginya. Maka kini ia datang ke tempat yang tak terduga-duga, ke orang yang sudah tak berpengharapan lagi. Setelah mengoles mata orang tadi, Yesus menyuruhnya berendam di sebuah kolam yang bernama Siloam.
Berjalan kaki dari wilayah Bait Allah ke kolam Siloam di ujung selatan Yerusalem (hampir 1 km dengan belok-beloknya) dalam perhitungan orang Farisi sudah melebihi batas yang diperbolehkan dilakukan pada hari Sabat. (Lihat Kis 1:12 mengenai jarak yang boleh ditempuh pada hari Sabat: dari Bukit Zaitun ke Yerusalem, paling-paling 500 meter.)
Jadi di mata kaum Farisi, bukan saja Yesus melanggar hukum Sabat dengan meramu pengobatan, tetapi malah menyuruh orang melanggar hukum Sabat pula.
Bolehkah dibilang Yesus bertindak sebagai nabi yang tak mau dihalangi rambu-rambu kelembagaan adat agama yang menyesakkan?
Amatan seperti ini sering terdengar. Tetapi tak usah arah pemikiran ini diikuti begitu saja. Salah-salah kita malah hanya akan memperlawankan Yesus dengan kaum Farisi dengan cara kita sendiri, dan bukan dengan mengikuti maksud Injil.
Injil Yohanes tidak menampilkan Yesus sebagai penyangkal lembaga Sabat atau lembaga kesalehan manapun. Yohanes ingin menunjukkan bagaimana Yesus membuat orang buta sejak lahir tadi menjadi manusia utuh, bisa melihat dan malah lebih daripada orang-orang lain. Yang dilakukan Yesus sebetulnya memungkinkan Sabat bisa betul-betul terjadi.
Sabat itu kan keadaan di mana Pencipta bisa memandangi ciptaan-Nya utuh tak kurang apapun, tidak cacat, lebih-lebih manusia yang diciptakan-Nya sebagai karya puncaknya. Itulah hari Sabat yang sesungguhnya.
Isyarat
Sore itu saya bertanya ke Oom Hans mengenai beberapa perkara keramat dari dunia sana. Di sebelah kursi goyangnya bertengger rajawali yang susah diduga umurnya.
Sesore itu kami bicarakan kata-kata Yesus seperti disampaikan dalam Yoh 9:39, “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya siapa saja yang tidak melihat dapat melihat, dan supaya siapa saja yang dapat melihat, menjadi buta.”
Dari pembicaraan itu semakin jelas bahwa kata “menghakimi” di situ kiranya bukan berarti memeriksa siapa salah, siapa saleh, siapa patut diganjar, siapa mesti kena hukuman.
Kedatangan Yesus justru untuk menyingkirkan kegelapan yang merundung kemanusiaan justru karena Yesus itulah Sang Terang. Persis seperti dalam penciptaan.
Itulah makna pemakaian kata “menghakimi” di situOrang yang matanya terhalang akan mampu melihat terang yang sungguh, tapi mereka yang merasa mengukuhi terang malah bisa jadi buta!
Masih terngiang penjelasan Oom Hans: “… Karya penciptaan masih berlangsung sekarang ini juga. Dan hdup kalian! Ada kalanya yang kalian buat bisa diterima apa adanya (seperti pada orang yang dimelekkan itu), atau diterima dengan kurang leluasa (kayak oleh orang tua si buta yang takut mengakui Yesus), bisa jadi juga dinilai mengurangi kemurnian agama (cara orang Farisi).
Mengutuhkan kemanusiaan kok dianggap keliru, dan anehnya, dengan alasan mau membela keluhuran ilahi sendiri (kekudusan sabat)! Bisakah orang memperlawankan kebesaran ilahi dengan pengertian sempit kita mengenai siapa Dia itu?”
Lalu ia menyulut pipa cangklongnya dan masuk dalam arus-arus mistik. Rajawali yang hingga kini masih diam terpekur itu pelan-pelan membuka sayapnya lebar-lebar, mengatupkannya lagi lalu memiringkan kepala mau berkomentar.
Serasa sepasang mata yang tajam itu melontarkan isyarat, “Bukalah mata batin kalian – terang sudah makin kelihatan.”
Salam hangat,
A. Gianto