DI dunia ini, tidak ada yang kebetulan. Manusia diciptakan dengan suatu tujuan. Siapa yang tahu sepenuhnya tentang tujuan itu? Hanya Tuhan.
Dialah yang mengetahui segalanya. Juga tatkala manusia belum dilahirkan di dunia ini. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa,” firman Tuhan kepada Yeremia (Yer 1: 5).
Santo Paulus menegaskan bahwa panggilan setiap orang adalah mencintai. Orang bisa sukses dan kaya raya, bahkan amat beriman. Tetapi tanpa kasih, semua tidak berarti (1Kor 13: 1-13).
Perhatikan, semua akan berakhir dalam kasih (1Kor 13: 13).
Itulah yang tampak dalam pribadi Sang Guru Kehidupan (Luk 4: 18-19). Dia menegaskan bahwa di dalam Dia misi dari Tuhan Allah terpenuhi. “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk 4: 21).
Di dalam diri manusia, Tuhan menanamkan makna dan tujuan hidup yang mulia. Namun lingkungan sosial sering mengaburkan atau menenggelamkannya. Karena memahaminya hanya sudut pandang sempit buatannya.
Misalnya, kriteria sosial.
Bukankah orang-orang di rumah ibadat yang mendengar-Nya lalu berkata, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Luk 4: 22).
Mereka gagal mengenal dan menolak-Nya, karena hanya melihat status sosial.
Demikianlah yang sering terjadi. Banyak orang tidak mencapai perkembangan diri maksimal sesuai kehendak Tuhan karena lingkungan sosialnya. Misalnya, anak-anak yang dalam jiwanya ditanam cinta menjadi pembenci, karena lingkungannya mengajari.
Orang diajak mengenal diri dan misi pribadinya. Bukankah tiap manusia dibekali misi jiwa? Jangan sampai, ketika ajal tiba misi itu belum dilaksanakannya.
Apa misi jiwaku? Tanyakan pada Tuhan yang menanamkan misi yang tersembunyi.
Minggu, 30 Januari 2022