Rabu, 08 03 2023
- Yer. 18:18-20.
- Mzm. 31:5-6,14,15-16.
- Mat. 20:17-28.
SEMUA orang menyadari bahwa dalam diri, ada kecendrungan alamiah untuk mendapatkan posisi atau kedudukan tertentu dalam masyarakat, keinginan untuk memiliki status sosial tertentu dan keinginan untuk menguasai sesama yang lain.
Kita ingin orang lain menerima kita apa adanya sesuai dengan status dan posisi kita.
Situasi ini dirasakan oleh ibu Yakobus dan Yohanes. Yang memperjuangkan anak-anaknya untuk bisa mendapatkan jabatan dan kedudukan saat Yesus berkuasa.
Memang, sangatlah lumrah dan manusiawi. Saya kira semua orang memiliki pengalaman pribadi yang mirip dalam mengaktualisasikan dirinya.
Seorang sahabat bercerita bahwa dia menjadi imam karena doa dari ibunya yang tak pernah putus.
“Saya bersyukur karena punya ibu yang gigih berdoa untukku, dari kecil hingga sekarang,” katanya.
“Bahkan panggilan saya ini pun tidak terlepas dari peran dan doa ibu,” sambungnya.
“Saya merasakan banyak pertolongan di jalan kehidupan ini, hingga sampai bisa meraih mimpiku karena Tuhan mendengar doa tulus dari ibuku,” ujarnya.
“Saya tahu, ibuku selalu berdoa untuk saya dan kakak serta adikku setiap malam. Dia ambil foto kami satu persatu dan mendoakan sesuai dengan jalan hidup kami masing-masing,” paparnya.
“Ibu hanya ingin memastikan apa yang kami hidupi itu sesuai dengan kehendak Tuhan, ibu tidak ingin kami berjalan dalam kegelapan tanpa bimbingan Tuhan,” tegasnya.
Doa ibu memiliki kekuatan yang dahsyat. Ibu dipercaya sebagai sosok yang menjadi tangan kanan Tuhan.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian,
“Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya.
Kata Yesus: “Apa yang kau kehendaki?” J
awabnya: “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”
Dalam bacaan Injil hari ini, Matius melukiskan sisi manusiawi murid-murid Yesus. Mereka berambisi akan kekuasaan dan jabatan.
Namun, Yesus segera menyadarkan mereka.
Sebagai pengikut Yesus, mereka harus berani memikul salib dan melayani sesama sebagaimana Yesus datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
Kita pun masing-masing memiliki sisi manusiawi.
Pada saat-saat tertentu, bisa jadi kita merasa tidak berdaya menghadapi kesulitan hidup yang tampaknya melampaui kekuatan kita.
Kita rapuh, mudah jatuh, dan tidak selalu dalam keadaan stabil, hingga mudah putus asa.
Keadaan seperti itu hendaknya justru membuat kita teringat akan Allah.
Kita membutuhkan pertolongan dari-Nya, sehingga baiklah kalau setiap saat kita bersandar pada-Nya dan mengandalkan diri-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apa motivasiku yang terdalam dalam mengikuti Yesus?